Bekerja di luar negeri dengan menjadi buruh migran adalah merupakan sebuah pilihan hidup, selain masalah nasib, cita-cita, tekanan, impian, kebutuhan, panggilan, ikut-ikutan, peruntungan, maupun hanya sekadar coba-coba merupakan sejumlah alasan dan sebuah parameter dari kenyataan hidup yang pada akhirnya membawa seseorang untuk menjadi buruh migran.
Sebagaimana layaknya sebuah keputusan hidup, pastilah dihadapkan pada sebuah situasi masa depan yang menjanjikan kebahagiaan dan kegembiraan, seperti pada sisi mata uang yang sama, mengancam pula kondisi kegagalan yang membawa kesedihan dan kesengsaraan.
Memperoleh pendapatan tinggi dalam mata uang asing, berkeliling dunia mengunjungi Negara-negara maju, menggali pengalaman global yang mengeankan, meningkatkan pengetahuan praktis dalam berbagai industri, menjadi duta bangsa di Negara asing dan mengumpulkan modal untuk kelak membuka usaha sendiri guna berwiraswasta ketika kembali ke tanah air, merupakan beragam impian yang ingin diraih oleh seorang buruh migran.
Sementara mendapatkan perlakuan tidak layak dari majikan, dipermainkan berbagai oknum kesana kemari, terjebak dalam kondisi hidup segan mati pun tak mau, tersesat di negara asing dan dicap buronan pemerintah setempat karena tidak adanya ijin kerja formal, dizalimi secara jasmani maupun rohani oleh penjahat kemanusiaan dan diperlakukan selayaknya budak berlian, merupakan kenyataan hidup pahit yang tidak jarang dialami oleh para buruh migran.
Sikon sosio-kultural-ekonomi masa lalu, khususnya pada bangsa-bangsa (termasuk suku-suku dan sub-suku) nomaden di Timur Tengah [termasuk di jazirah Arab], budak/hamba selalu berhubungan dengan fungsi dan tugas seseorang yang melayani tuan atau pemiliknya. Hampir semua lapisan masyarakat pada masa itu mempunyai budak; kecuali komunitas budak itu sendiri, karena budak tidak mempunyai budak.
Para budak adalah hamba sahaya yang menjadi budak karena dibeli atau keturunan karena orang menjadi budak karena orang tuanya adalah budak. Biasanya seseorang yang telah dibeli dan menjadi ebbedh atau hamba, maka ia kehilangan identitas dirinya.
Ia hanya menyapa dirinya atau disebut sesuai dengan nama tuannya; misalnya ebed Musa (jika tuannya bernama Musa) atau ebed Abraham (jika tuannya bernama Abraham), dan seterusnya. Sehingga pada diri para budak (termasuk pekerja rumah yang pada awalnya dibeli sebagai budak) muncul ketaatan dan loyalitas mutlak terhadap tuan mereka. Tugas mereka adalah melayani pemiliknya dalam segala sesuatu, termasuk mengorbankan nyawa demi hidup dan kehidupan tuannya.
Dalam kurun waktu yang cukup lama, sejak ribuan tahun sebelum Masehi sampai memasuki awal abad dua puluh, profesi sebagai budak, hamba, pelayan pekerja di rumah, relatif masih belum berubah; terutama pada suku-suku dan sub-suku pengembara yang kebetulan bukan Kristen di Timur Tengah.
Pada masa kini, sebagian besar masyarakat suku di Timur Tengah masih menganggap mereka sebagai komunitas kelas bawah yang lebih rendah derajatnya.
Karena, umumnya para majikan, merasa lebih tinggi derajat dari para pekerja, dan juga sudah membayar untuk mendapat sang pekerja, maka mereka bertindak seenaknnya terhadap 'yang sudah mereka bayar'. Dan perilaku negatif tersebut menimpa banyak pekerja dari Indonesia, Filipina, dan Pakistan.
Namun, prosentasi terbanyak dialami oleh TKW [terutama pembantu rumah tangga] dari Indonesia. Perilaku negatif tersebut, bisa saja merupakan akibat dari warisan sosial-budayanya masih menganggap para pekerja tersebut sebagai budak dan orang-orang yang lebih rendah derajatnya.
Perilaku negatif dan brutal tersebut, merupakan akibat dari warisan sosial-budayanya masih menganggap para pekerja tersebut sebagai budak dan orang-orang yang lebih rendah derajatnya
Tuti Tursilawati: Dirampok, Diperkosa, Dihukum Mati, Dipancung
Tuti Tursilawati (39, waktu itu baru berusia kurang dari 30 tahun), TKW asal Jawa Barat, bekerja di Thaif, Arab Saudi. Suatu waktu, tepatnya 11 Mei 2010, Tuti sendirian bersama Arab Tua bernama Suud Malhaq Al Utibi, majikannya. Anggota keluarga yang lain, bekerja dan sekolah
Ketika Si Arab Tua itu melihat Tuti Tursilawati, yang bening, montok, dan sexy, ia langsung nafsu. Bulungnya berdiri tegak; karena nafsunya tak terbendung, ia membujuk Tuti agar ML. Setiap hari, jika ada kesempatan, Si Arab Tua terus menerus memaksa; Tuti tetap menolak.
Tuti menolak dengan baik-baik, tapi Si Arab Tua semakin memaksa, ia pun menarik pakaian Tuti, sehingga nyaris telanjang. Tuti tetap menolak, Si Arab Tua semakin agresip. Tuti yang terjepit sempat melihat kayu pemukul baseball di ruang tamu. Ia mengambil pemukul itu, lalu menghajar Si Arab Tua hingga parah berdarah.
Si Arab Tua pun terkapar menjelang ajal. Tuti melarikan diri. Tuti bertemu 9 laki-laki Arab di sekitar rumah majikannya. Ia meminta tolong agar bisa ke Mekah. Laki-laki tersebut menjanjikan bantuan membantu perjalanan Tuti ke Mekah, lepas dari rumah majikannya di Thaif.
Namun ternyata Tuti dibawa ke rumah kosong. Kemudian, 9 laki-laki Arab Biadab dan hati binatang tersebut memperkosa Tuti. Setelah itu, para lelaki itu, menyerahkan Tuti ke Polisi Arab. Ia pun di tahan.
Kronologis perkara di Pemgadilan berbeda; dan tak menyinggung bahwa Tuti diperkosa oleh 9 bajingan Arab. [Tuti divonis mati gara-gara membunuh majikannya. Tuti dibujuk untuk berhubungan badan oleh majikannya yang sudah tua dan duduk di kursi roda. Suatu hari, Tuti jengkel dan mendorong kursi roda Si Arab Tua. Si Arab Tus terjatuh, dibawa ke rumah sakit, tiga hari baru meninggal].
Di Pengadilan Tuti Tursilawati divonis mati karena pembunuhan berencana. Tapi, sembilan bajingam Arab yang memperkosa dan merampok barang-barab dan uang Tuti, tidak diadili.
ITULAH hukum yang berlaku di sana; Hukum yang tidak peduli terhadap 'penyebab terjadinya suatu tindakan.' Peradilan Arab, hanya melihat hasil akhir atau diujung peristiwa. Suatu model peradilan yang tidak mempertimbangkan nilai-nilai moral dan harkat kemanusiaan; terutama perempuan dan orang-orang dari bangsa-bangsa Non-Arab.
Jumlah TKI/TKW di Arab Saudi
Berdasarkan data dari sejumlah media, angka ini berbeda-beda, sekitar 1.5 juta orang Indonesia bekerja di Timur Tengah; bekerja berbagai bidang, terutama pembantu Rumah Tangga, Pekerja Bangunan, atau pun 'non keahlian' lainnya.
Data 2015 menunjukkan bahwa 2014, negara paling besar menampung TKI adalah (i) Arab Saudi dengan jumlah TKI 1,01 juta orang, (ii) Uni Emirat Arab sebesar 114.000 orang, (iii) Yordania 48.000 orang, (iv) Oman 33.000 orang, (v) Qatar 28.000 orang, (vi) Kuwait, Bahrain, Sudan, Mesir, Libanon, dan negara lainnya. [Note: Cukup aneh, ada TKI/W yang bekerja di Sudan; padahal salah satu negara termiskin di Dunia dan pertumbuhan ekonomi sangat rendah].
Dari lebih sejuta TKI/W di Arab Saudi tersebut, menurut KBRI di Arab Saudi dan BNP2PTKI, minimal ada 2500 orang adalah TKI yang dinyatakan ilegal. Dalam artian, mereka bekerja di sana tanpa melalui proses perizinan.
Modus yang mereka gunakan adalah visa ziarah; dan sengaja tidak pulang ke Indonesia. Mereka bekerja selama 90 hari, sambil mencoba peruntungan mendapat izin, melalui calo. Jika berhasil dapat izin tinggak, maka para 'pendatang ilegal' tersebut bisa bekerja selama 5-10 tahun.
Penyebab TKW Mengalami Penyiksaan
Sudah bukan rahasia bahwa sebagian besar TKI, utamanya TKW, yang bekerja di LN pada sektor informal, tanpa persiapan khusus atau pun, ketrampilan dasar yang memadai; misalnya, menggunakan alat-alat elekronik rumah tangga, juga menguasai bahasa.
Di samping itu, mereka terikat kontrak pada agen; dan agen itulah yang 'menentukan' kerja di mana dan dengan siapa; juga harus membayar jasa agen yang jumlahnya cukup besar.
Pada konteks itu, TKW menjadi tidak berdaya; sehingga adakalanya tidak bisa berbuat banyak, jika mengalami kendala di tempat kerja, misalnya kerja melebihi 12 jam sehari, gaji yang dipotong, dan lain sebagainya.
Menimnya ketrampilan (dan juga bahasa) tersebut, merupakan salah satu faktor penyebab terjadi 'penyiksaan' terhadap TKW.
Selain itu, berbagai sumber menyatakan alasan-alasan TKWI mengalami penyiksaan antara lain, (i) hasil kerja yang kurang memuaskan majikan, (ii) kendala bahasa, (iii) majikan memaksa atau memerinta bekerja di waktu pekerja beristirahat, (iv) godaan dan penolakan ajakan ML, (v) melawan ketika terjadi pelecehan seksual, (vi) majikan membuat pembatasan-pembatasan sehingga pekerja tidak bisa bersosialiasi, menghubungi keluarga, dan juga ibadah.
Oleh sebab itu, ke depan, jika masih mau mengirim TKW ke Arab Saudi, maka benahi hal-hal ini.
Dan, seringkali ketika pekerja/TKW mengalami penyiksaan, dalam ketidaktahuannya, mereka mereka tidak bisa menghubungi orang lain; yang mereka kenal cuma agen atau calo.
Dengan itu, apa-apa yang mereka alami, misalnya penyiksaan, tidak diketahui oleh orang lain, termasuk KBRI. Dalam keadaan itu, jika TKW berhasil lari dari rumah majikan, misalnya Tuti Tursilawati, maka ia mudah ditangkap, atau pun jatuh ke dalam cengkraman penjahat.
Dan, jika mereka bisa lolos dari rumah majikan serta penjahat, maka tidak membuka kemungkinan para TKI/TKW tersebut 'bergelandangan' di bawah fly over atau pun pinggir jala.
Misalnya, pada November 2013, puluhan ribu TKI yang tak dapat ditampung Tarhil Sumaisyi hanya bisa berkeliaran di jalan. Menunggu nasib yang tak pasti. Sebagian tidur di pinggir jalan di sepanjang Tarhil Matar Qadim di Jeddah Arab Saudi.
##
Kembali ke judul dan Tuti Tursilawati yang kini telah almarhumah; adanya sejumlah kendala dan perlakuan terhadap TKW dari Indonesia di Arab Saudi, maka sudah tepat ada moratorium pengiriman TKW informal sana. Jika tidak, maka peristiwa Tuti akan terulang pada Tuti dan Tuti lainnya di sana.
Kemarin, setelah Tuti dipancung, pemerintah RI hanya bisa protes, namun tak ada tindakan diplomatik terhadap Arab Saudi, misalnya memulangkan Sang Dubes. Agaknya, pemerintah terkesan 'takut' dan 'lebih baik diam' terhadap perlakuan Arab terhadap WNI yang tertindas dan menjadi tertuduh.
Akhir kata, pesan saya kepada Capres/Capres yang sekarang sementara Kampanye Menuju Pilpres 2019, mana program nyara kalian untuk Buruh Migran Indonesia di Luar Negeri.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar