13 Desember, 2018

"Gue yang Natalan, Situ yang Ribut!?"

"Gue yang Natalan, Situ yang Ribut!?"

Ada ungkapan yang menarik dari Menteri Agama, seperti yang dikutip oleh id.berita.yahoo.com; menurut Menteri Agama,
"Kami memohon umat Kristiani berjiwa besar melihat realitas ini. Sebab di internal umat Islam beragama pandangannya.
Di internal umat Islam pandangan terkait mengucapkan 'Selamat Hari Raya Natal' masih beragam. Ada sebagian besar tidak mempersoalkan ucapan kepada umat Kristiani, tetapi ada yang mengharamkan.
Saya pikir semua pihak harus saling menghargai dan menghormati pandangan masing-masing. Jadi kalau ada umat Islam tidak mengucapkan itu katakan sampai mengucapkan haram itu bagian dari pemahaman.
Itu harus dihormati dan dihargai. Sebagaimana, kita menghormati dan menghargai yang tidak mempersoalkan."

Bagi saya, dan banyak umat Kristen di Nusantara, tidak penting Haram dan Halalnya seorang Muslim mengucapkan Natal kepada rekan, keluarga, sanak, atau bahkan suami-isteri-anak mereka yang merayakan Natal.
Bagi seorang Kristen, tidak masalah baginya mendapat ucapan salam atau selamat  selamat, termasuk ucapan Selamat Natal dari orang lain; yang penting baginya adalah seperti pesan Yesus di bawah ini,
Apabila kamu hanya memberi salam kepada saudara-saudaramu saja, apakah lebihnya dari pada perbuatan orang lain? Bukankah orang yang tidak mengenal Allah pun berbuat demikianApabila kamu masuk rumah orang, berilah salam kepada mereka, … salammu itu turun ke atasnya.Berilah salam seorang kepada yang lain, ….  dan saling mendahului dalam memberi hormat, … .Janganlah kita gila hormat; hormat kepada orang yang berhak menerima hormat. Hormatilah semua orang, kasihilah saudara-saudaramu.
Rangkaian kalimat di atas merupakan bagian teks Kitab Suci, yang bersifat pesan moral – etika dalam kerangka hubungan antara manusia atau sosial.
Dalam kerangka itu pula, pada diri setiap Kristiani, ada semacam keharusan – kewajiban etis pada dirinya, agar mengucapkan Salam, Shalom, Eirene, hormat, kepada semua orang. Dengan demikian Umat Kristiani Tak Berharap, Meminta, Menuntut Ucapan Selamat Natal dari Siapapun
Memberi – mengucapkan Selamat Natal tersebut, merupakan panggilan nurani dan suara hati. Boleh dan tidak bolehnya –  ya  atau pun tidaknya, tergantung input yang masuk ke/dalam nurani masing-masing orang.
Silahkan, anda memberi atau pun tidak ucapkan Selamat Natal …. karena tergantung dari dalam jiwa dan rohanimu; bukan karena orang yang akan diberi ucapan tersebut.
Bagi umat Kristen, pada umumnya, mereka tidak pernah mempermasalahkan dirimu – diriku memberi-mengucapkan Selamat Natal ke/pada dirinya(mereka). Karena memang, bagi seorang Kristiani ia tak boleh meminta atau menuntut ucap dan ucapan selamat, shalom, tabe,’ eirene, dan kata-kata sejenisnya dari siapa pun juga; namun ia wajib memberi ucapan selamat semua orang.
Jadi, Tuan Menteri Agama tak perlu memberi pernyataan agar umat Kristen berjiwa besar jika tak mendapat ucapan Natal; emangnya kami butuh!? Tidak, Pak Menteri.
Oleh sebab itu, Wahai Tuan Menteri, "nguruslah mereka-mereka yang sibuk bertengkar tentang boleh tidaknya Selamat Natal; mereka yang perlu belajar dan diajari bagaimana menghargai serta menghormati iman orang lain; didiklah mereka yang selalu usil dengan hal-hal diimani oleh orang lain."
Coba Pak Menteri lihat di Media Sosial, Cetak, Pemberitaan, adakah ucapan dan pernyataan pemimpin umat, Gereja, atau tokoh agama Kristen, yang "meminta agar orang lain memberi ucapan selamat Natal ke/pada umat Kristen!? Adakah permintaan yang keluar dari mulut mereka agar semua umat beragama dan tak beragama memberi Salam dan Ucapan Natal ke/pada Si Kristen dan Sang Katolik!? Tidak ada, sekali lagi tidak ada; dan sekali lagi, tidak ada seperti itu.
Pak Menteri, justru yang ada adalah, "Gue yang Natalan, sana yang ribut; dan mengajak orang lain ikut tidak memberi ucapan Selamat Natal. Kemudian, di sana juga yang saling debat, boleh tidaknya dan haram halalnya ucapkan Natal." Sementara, umat Kristen dan Katolik, yang (akan) merayakan Natal, cuma menjadi penonton setia; setia  menonton perdebatan antara sesama mereka di sana."
So, janganlah "bertengkar" tentang boleh tidak ucapkan Natal, karena itu tak bermanfaat dan tak berguna, malah hanya menunjukkan "ketidaksukaan" terhadap hal-hal yang ada pada orang lain; dan selain itu, memalukan.
Memalukan karena, "Gue yang Natalan, malah lue yang ribut!"
Opa Jappy - Jakarta Selatan

Tidak ada komentar:

Posting Komentar