Agama [Sanskerta, a = tidak; gama = kacau]
artinya tidak kacau; atau adanya keteraturan dan peraturan untuk mencapai arah
atau tujuan tertentu. Religio [dari religere, Latin] artinya
mengembalikan ikatan, memperhatikan dengan saksama; jadi agama adalah tindakan
manusia untuk mengembalikan ikatan atau memulihkan hubungannya dengan Ilahi.
Dari sudut sosiologi,
agama adalah tindakan-tindakan pada suatu sistem sosial dalam diri orang-orang
yang percaya pada suatu kekuatan tertentu [yang supra natural] dan berfungsi
agar dirinya dan masyarakat keselamatan. Agama merupakan suatu sistem sosial yang
dipraktekkan masyarakat; sistem sosial yang dibuat manusia [pendiri atau
pengajar utama agama] untuk berbhakti dan menyembah Ilahi. Sistem sosial
tersebut dipercayai merupakan perintah, hukum, kata-katayang
langsung datang dari Ilahi agar manusia mentaatinya. Perintah dan kata-kata
tersebut mempunyai kekuatan Ilahi sehingga dapat difungsikan untuk mencapai
atau memperoleh keselamatan [dalam arti seluas-luasnya] secara pribadi dan
masyarakat.
Dari sudut kebudayaan, agama
adalah salah satu hasil budaya. Artinya, manusia membentuk atau menciptakan
agama karena kemajuan dan perkembangan budaya serta peradabannya. Dengan itu,
semua bentuk-bentuk penyembahan kepada Ilahi [misalnya nyanyian, pujian,
tarian, mantra, dan lain-lain] merupakan unsur-unsur kebudayaan. Dengan
demikian, jika manusia mengalami kemajuan, perubahan, pertumbuhan, dan
perkembangan kebudayaan, maka agama pun mengalami hal yang sama. Sehingga
hal-hal yang berhubungan dengan ritus, nyanyian, cara penyembahan [bahkan
ajaran-ajaran] dalam agama-agama perlu diadaptasi sesuai dengan sikon dan
perubahan sosio-kultural masyarakat.
Sedangkan kaum agamawan berpendapat bahwa agama
diturunkan TUHAN Allah kepada manusia. Artinya, agama berasal dari Allah; Ia
menurunkan agama agar manusia menyembah-Nya dengan baik dan benar; ada juga
yang berpendapat bahwa agama adalah tindakan manusia untuk menyembah TUHAN
Allah yang telah mengasihinya. Dan masih banyak lagi pandangan tentang agama,
misalnya,Agama ialah [sikon manusia yang] percaya adanya TUHAN, dewa, Ilahi;
dan manusia yang percaya tersebut, menyembah serta berbhakti kepada-Nya, serta
melaksanakan berbagai macam atau bentuk kewajiban yang bertalian dengan
kepercayaan tersebut
Agama adalah
cara-cara penyembahan yang dilakukan manusia terhadap sesuatu Yang
Dipercayai berkuasa terhadap hidup dan kehidupan serta alam semesta;
cara-cara tersebut bervariasi sesuai dengan sikon hidup dan kehidupan
masyarakat yang menganutnya atau penganutnya
Agama ialah percaya
adanya TUHAN Yang Maha Esa dan hukum-hukum-Nya. Hukum-hukum TUHAN tersebut
diwahyukan kepada manusia melalui utusan-utusan-Nya; utusan-utusan itu adalah
orang-orang yang dipilih secara khusus oleh TUHAN sebagai pembawa agama. Agama
dan semua peraturan serta hukum-hukum keagamaan diturunkan TUHAN [kepada
manusia] untuk kebahagiaan hidup manusia di dunia dan akhirat
Jadi,
secara umum, agama adalah upaya manusia untuk mengenal dan menyembah Ilahi
[yang dipercayai dapat memberi keselamatan serta kesejahteraan hidup dan
kehidupan kepada manusia]; upaya tersebut dilakukan dengan berbagai ritus
[secara pribadi dan bersama] yang ditujukan kepada Ilahi.
Secara khusus, agama
adalah tanggapan manusia terhadap penyataan TUHAN Allah. Dalam
keterbatasannya, manusia tidak mampu mengenal TUHAN Allah, maka Ia menyatakan
Diri-Nya dengan berbagai cara agar mereka mengenal dan menyembah-Nya.
Agama datang dari manusia, bukan
TUHAN Allah.
Sinisme terhadap Agama
Sinisme,
berasal dari kata sinis [mengejek
dan memandang rendah], merupakan pandangan atau pernyataan sikap [pemikiran,
kata, dan tindakan] yang mengejek dan memandang rendah atauenteng terhadap
sesuatu. Sinisme juga merupakan ketidakseimbangan pandangan; dalam arti hanya
melihat sisi negatifnya saja, dan membuang hal-hal postif. Jadi, pandangan
sinis terhadap agama, menunjukkan suatu konsep pikir, melalui ketidakseimbangan
pandangan, yang merendahkan nilai-nilai keilahian yang ada pada agama dan
keberagamaan.
Sepanjang
atau dalam sejarah peradaban umat manusia, muncul atau ditemukan banyak orang
yang berpendapat tentang ketidakpentingnya agama [termasuk ajaran tentang
adanya TUHAN dalam agama-agama]. Misalnya,
Karl Marx, 1818 - 1883; menurut Marx, perkembangan dan
modernisasi telah memilah dan memisahkan masyarakat menjadi berbagai strata
sosial; antara lain masyarakat maju, kaya, sejahtera, serta sengsara dan
menderita. Pemilahan dan pemisahan itu dilakukan oleh para orang kaya dan
berpendidikan, yang awalnya dalam rangka perbaikan masyarakat. Akan tetapi,
pada perkembangan selanjutnya, pemilahan dan pemisahan itu, menjadi pintu masuk
tindakan sewenang-wenang dan penindasan terhadap kaum miskin serta papa; dengan
demikian, mereka tetap sengsara dan menderita. Melihat realitas tersebut,
menurut Marx, kesengsaraan dan penderitaan, menjadikan manusia selalu berkeluh
kesah dan memohon atau berisi permohonan belas kasihan. Dan keadaan itulah,
mereka melarikan diri dari realitas hidup dan kehidupan dengan menciptakan atau
memunculkan agama [dalam arti tindakan-tindakan yang bersifat doa-doa,
nyanyian, teks-teks yang berisi penghiburan, dan lain-lain].
Ketika manusia
melakukan hal-hal tersebut, ia sejenak melupakan penderitaan dan
kesengsaraanya. Tetapi, setelah itu, ia tetap pada keadaannya yaitu menderita
dan sengsara. Jadi, agama adalah suatu bentuk permohonan dari makhluk yang
penuh sengsara dan penderitaan. Agama merupakan roh yang
tidak berjiwa; tidak mempunyai kekuatan apapun untuk merubah keadaan manusia.Bagi
Marx, agama adalah opium atau candu dalam dan untuk masyarakat; [sebagaimana
sifat candu menjadikan orang atau pemakainya lupa pada penderitaan dengan
adanya realitas semu atau impian pada saat kecanduan; mengikat dan membuat
ketergantungan, kemudian merusak kehidupan], maka agama hanya membuat manusia
terikat pada sesuatu yang tidak realita; menjadikan mereka bermimpi; serta
mempunyai harapan pada ketiadaan dan kehampaan; semuanya menghancurkan hidup
dan kehidupan manusia. Karena itu, jika manusia atau masyarakat ingin
memperoleh kebahagiaan, kesejahteraan, kesetaraan, kebersamaan, maka ia atau
mereka harus menghancurkan agama.
Ludwig
Feurbach, tokoh atheis modern, 1804 - 1883; Menurutnya, ide tentang TUHAN pada
hidup dan sejarah manusia merupakan suatu kekeliruan. Kodrat manusia ditentukan
oleh akal budi, perasaan, dan kehendak; ketiga hal itu merupakan perkembangan
alam. Menurut Feurbach, agama mengajarkan manusia memisahkan dirinya dari alam.
Oleh sebab itu, untuk kembali pada jatidirinya sebagai makhluk alam, maka
manusia harus membuang ide tentang TUHAN.
Friedrich Nietze, 1884 - 1900; Menurut Nietze, manusia percaya
kepada atau adanya TUHAN karena dirinya [mereka] mempunyai perasaan tidak
mampu; atau karena ketidakmampuan dan kekurangan [kemiskinan] maka manusia
percaya adanya TUHAN. Agama muncul pada sejarah masa lalu umat manusia, ketika
peradabannya masih terbelakang atau belum maju; pada sikon itu hampir semua
umat manusia percaya adanya TUHAN. Tetapi, ketika ada kemajuan peradaban dan
ilmu pengetahuan, yang menghantar manusia pada kebebasan intelektual,
kemerdekaan berpendapat, serta mempunyai kemampuan; maka manusia harus
melepaskan dirinya atau membuang keterikatannya dengan agama.
Menurut
Nietze, agama mengajarkan ide tentang TUHAN, padahal keberadaan-Nya tak nampak
atau tidak ada; Ia adalah kehampaan, kosong. Karena itu, manusia harus
mematikan ide adanya agama; sekaligus memancarkan kematian TUHAN dari dalam
hidup dan kehidupannya, dan selanjutnya [manusia] harus membuang norma-norma
moral yang diajarkan atau datang dari agama-agama.
Pandangan-pandangan sinis terhadap agama
tersebut, memang merupakan produk masa lalu, pada perkembangan sejarah
intelektual manusia, namun dampaknya masih terasa sampai kini. Ide-ide tentang
kematian dan ketiadaan TUHAN; ketidakbergunaan agama-agama; dan penolakkan
terhadap agama-agama terus menerus merambah masuk ke dalam pola pikir manusia
masa kini.
Pengagungan
terhadap hasil akal budi dan perkembangan iptek, seringkali menjadikan manusia
ingin membuktikan segala sesuatu secara ilmiah. Dan ketika, ia atau mereka
berhadapan dengan sesuatu yang hanya bersifat gejala-gejala [misalnya kehadiran
TUHAN yang tak nampak, namun terasa gejala-gejala atau akibat kehadiran-Nya],
yang tidak bisa dibuktikan secara konkrit, maka disamakan dengan ketiadaan
bukti ilmiah. Karena tidak bisa dibuktikan secara ilmiah, maka ia atau mereka menolak keberadaan
agama dan TUHAN, walaupun identitas keagamaan masih melekat pada dirinya.
Orang-orang seperti Marx, Feurbach, dan Nietze, dan masih banyak lagi yang lain, ketika mendapat tantangan [terutama dari tokoh-tokoh dan pemimpin agama] karena pendapat dan konsep-konsepnya, dengan gampang menjawab bahwa jika TUHAN itu ada, biarlah Ia yang menghukum. Dengan demikian, mereka tetap bebas menyampaikan ide-idenya. Ide-ide mereka tidak pernah mati dan lenyap. Dan kenyataannya, karena TUHAN penuh dengan kasih dan pengampunan, maka orang-orang yang menolak keberadaan-Nya, tidak pernah mengalami malapetaka ataupun dilenyapkan dari muka Bumi; mereka tetap eksis, walaupun tidak peduli dengan Agama maupun TUHAN. Dengan demikian, mereka telah meninggalkan atau mewariskan virus dan racun mematikan pada hidup dan kehidupan manusia selanjutnya. Setelah era atau masa mereka, banyak orang masih mempertahankan atau mengikuti konsep dan pemikiran sinisme tersebut.
Pada masa kini, termasuk di Indonesia, tidak sedikit
kaum muda, orang tua, mereka yang berpendidikan maupun tidak, walaupun tak
secara terang-terangan, mengikuti pemikiran Marx, Feurbach, dan Nietze; tetapi
mampu membangun konsep-konsep baru yang lebih dasyat tentang penolakkan
terhadap agama-agama dan TUHAN. Dengan demikian, Marx, Feurbach, dan Nietze,
walaupun telah lama meninggal, tetap melahirkan anak-anak dan murid-murid
ideologis pada sepanjang sejarah umat manusia. Ajaran-ajaran mereka menjadi
suatu pegangan ataupun ideologi alternatif, ketika agama-agama tidak bisa
[siap] menjawab persoalan dan serta memberi jalan keluar dari pergumulan hidup
dan kehidupan umat manusia.
Hal
tersebut, bisa muncul dari kaum agamawan maupun keberadaan manusia itu sendiri.
Artinya, kaum agamawan bisa menjadikan umatnya menolak agama
dan TUHAN, jika mereka menjadikan agama sebagai penghambat kemajuan serta
kreativitas hidup dan kehidupan manusia. Manusia bisa menolak agama, karena
sebab-akibat tertentu. Artinya, jika ia atau mereka terus menerus berada dalam
sikon penderitaan, kemelaratan, putus asa, dan tanpa pertolongan oleh siapapun
[termasuk dari umat yang taat beragama], maka melahirkan suatu sikap penolakan
radikal terhadap agama-agama. Mungkin, pada awalnya hanya menolak manusia yang
beragama, namun dalam perkembangan selanjutnya, menyebar menjadi anti agama dan
TUHAN.
JAPPY
Tidak ada komentar:
Posting Komentar