Politik [Indonesia], politic, [Inggris] adalah padanan politeia atau warga kota [Yunani, polis atau kota, negara, negara kota]; dan civitas [Latin] artinya kota atau negara; siyasah [Arab] artinya seni atau ilmu mengendalikan manusia, perorangan dan kelompok. Agama [Sanskerta, a = tidak; gama = kacau] artinya tidak kacau; atau adanya keteraturan dan peraturan untuk mencapai arah atau tujuan tertentu. Religio [dari religere, Latin] artinya mengembalikan ikatan, memperhatikan dengan saksama; jadi agama adalah tindakan manusia untuk mengembalikan ikatan atau memulihkan hubungannya dengan Ilahi.
Politik juga memunculkan pembagian pemerintahan dan kekuasaan, demokrasi [dalam berbagai bentuk], pemerataan dan kesimbangan kepemimpian wilayah, dan lain sebagainya. Hal itu menjadikan pembagian kekuasaan [atau pengaturan?] legislatif [parlemen, kumpulan para politisi]; eksekutif [pemerintah]; dan yudikatif [para penegak hukum]; agar adanya ketertiban dan keteraturan dalam masyarakat.
Politik mengatur relasi antar manusia; sedangkan agama merupakan relasi manusia dengan TUHAN Allah, yang dinyatakan dalam berbagai bentuk. Keduanya [politik dan agama] mempunyai kesamaan, sekaligus memiliki berbagai perbedaan; namun, bisa saling mempengaruhi dan dipengaruhi. Kesamaan utama agama dan politik adalah peranan manusia; tanpa mereka keduanya tidak berarti.
Manusia yang beragama [umat beragama], juga adalah mereka yang berpolitik; mereka yang berpolitik adalah umat beragama. Walaupun demikian, seni [dan cara] memerintah secara politik, tentu saja [seharusnya] berbeda dengan pola-pola kepemimpinan agama-agama. Sayangnya, perbedaan hakiki antara agama dan politik tersebut sangat tipis atau bahkan hampir tidak terlihat. Ada politisi yang menggunakan agama sebagai alat untuk mencapai kedudukan serta kekuasaan. Dan ada juga pemuka agama [organisasi keagamaan] yang memakai trik-trik politik untuk mencapai dan mempertahankan kepemimpinan terhadap umat.
Kedekatan Agama-Politik - Politisi-Agama serta Politik-Agama dan Politisasi Agama (dengan varian-varian lainnya) inilah sangat berpotensi merusak agama. Mereka, para politisi yang bermaindengan cara-cara itu ataupun melalui varian-varian tersebut, biasa saya sebut sebagai bagian dari politik dan politisi busuk dari parpol busuk; atau politisi busuk - parpol busuk.
Mereka ada di mana-mana, bukan saja parpol agama dan keagamaan; mereka terpencar di berbagai parpol (dan juga ormas). Kemungkinan besar, mereka tak terampil serta tak mampu berpolitik atau pun menarik perhatian masyarakat lintas agama untuk memilihnya sebagai anggota parlemen atau pun pemimpin daerah (gubernur, bupati, walikota). Karena ketidakmampunan tersebut, namum mempunyai nafsu mengusai, mempunyai kuasa serta kekuasaan, maka jalan mudah baginya adalah menggunakan agama. Dengan itu, agama digunakan-diperalat sebagai alat untuk mencapai kedudukan serta kekuasaan politik.
Model politisi seperti itu menunjukkan ketidakmampuan dan ketidaktrampilan berpolitiknya. Ia hanya mempunyai motivasi untuk mencari untung dari kedudukan serta kekuasaan politik, dalam rangka memperkaya diri sendiri sekaligus mencari nama.
Politisi seperti itu, tidak mempunyai kepekaan terhadap permasalahan dan pergumulan umat manusia atau masyarakat luas. Jika ada yang ia perjuangkan, maka hanya akan memperhatikan atau demi kepentingan orang-orang tertentu seperti mereka yang seagama dengannya.
Jappy MP
Tidak ada komentar:
Posting Komentar