11 Desember, 2018

Merenungkan Ulang Islamnya Presiden Jokowi




“Semua orang boleh ragu dengan agamaku tapi saya tidak ragu dengan iman dan imamku dan saya tidak pernah ragu dengan Islam agamaku.
Saya bukan bagian dari kelompok yang mengaku Islam yang punya tujuan mewujudkan negara Islam.
Saya bukan bagian dari yang mengaku Islam tapi suka menebar teror dan kebencian.
Saya bukan bagian dari kelompok Islam yang sesuka hatinya mengkafirkan saudaranya sendiri.
Saya bukan bagian dari segelintir Islam yang menutupi perampokan hartanya, menutupi pedang berlumuran darah dengan gamis dan sorban.
Saya bukan bagian dari Islam yang membawa ayat-ayat Tuhan untuk menipu rakyat.
Saya bukan bagian dari Islam yang membawa azas partainya untuk korupsi dan hidup bermewah-mewah.
Saya bukan bagian dari Islam yang menciptakan perang bagi sesama Islam.
Saya bukan bagian dari Islam yang menindas agama lain.
Saya bukan bagian dari Islam yang arogan dan menghunus pedang ditangan dan dimulut.
Saya bukan bagian dari Islam yang suka menjejerkan fustun-fustunnya.
Saya Jokowi bagian dari Islam yang Rahmatan Lil Alamin.
Islam yang hidup berketurunan dan berkarya di Negara RI yang memegang teguh UUD 45. Bhinneka Tunggal Ika adalah rahmat dari Tuhan.


Joko Widodo
24 Mei 2014

Ketika itu, Presiden Jokowi mengeluarkan pernyataan (di atas) yang cukup keras ke para penfitnah dan lawan politiknya.
Itu kisah tiga tahun lalu, namun, menurut saya, masih kena-mengena dengan sikon kekinian.
Di tahun 2017 ini, gerakan dan aksi berlandaskan sentimen SARA menaik sekian ratus persen; terutama sekitar Pilkada DKI Jakarta, dan belum merangkak turun. Ujar dan hasutan kebencian terhadap mereka yang beda etnis dan agama juga semakin menjadi-jadi. Bahkan, anak-anak usia SD pun sudah mampu menyanyikan nyanyian benci dan kebencian.
Agaknya, semakin maju dan modern bangsa ini, namun pada interaksi sosial malah kembali ke era primitif; dan ke-primitif-an itu, akibat dari dendam politik serta ditambah pemahaman keagamaan yang sempit.
Pada sikon seperti itu, sangat saya sayangkan, ada  sejumlah tokoh ternama, bukannya mengedukasi umat agar mempersempit perbedaan, tapi justru memperlebar jurang pemisah. Mereka “mendorong” publik agar membangun tembok pemisah abstrak dan konkrit berdasar sentimen SARA pada hidup dan kehidupan sehari-hari.
Maaf, kalau saya katakan bahwa mayoritas mereka adalah tokoh-tokoh agama yang intoleran dan radikal. Dan, tak sedikiti umat yang “membeo” pada tokoh-tokoh seperti itu. Akibatnya, terjadi “chaos pemahaman” keagamaan, dan berlanjut pada rusaknya hubungan antar orang perorang di area publik. Wajah-wajah dan damai cepat berubah menjadi amarah serta garang.
Lalu, siapa lagi yang rakyat harapkan untuk perbaiki keadaan?
Kita tak punya pilihan lain, selain Presiden RI Joko Widodo. Oleh sebab itu, semuanya saya ajak untuk merenungkan ulang “Islam ala Joko Widodo, [kutipan di atas].”
Jadi, bukan saja Jokowi namun mayoritas anak bangsa ini adalah  bagian dari Islam yang Rahmatan Lil Alamin.  Islam yang hidup berketurunan dan berkarya di Negara RI yang memegang teguh UUD 45. Bhinneka Tunggal Ika adalah rahmat dari Tuhan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar