Masyarakat dunia mengetahui bahwa para perempuan di Arab Saudi wajib mengenakan
jilbab yang menutupi seluruh bagian tubuh mereka ketika beraktivitas di luar
rumah. Bahkan, gerak kaum wanita di tempat-tempat umum, termasuk di tempat
kerja, juga sangat dibatasi.
Aturan
tersebut sesungguhnya sejalan dengan Syariat Islam yang juga mengatur busana
perempuan Muslim dan bagaimana mereka beraktivitas di luar rumah, serta
berinteraksi dengan lawan jenis yang tidak memiliki hubungan darah dengan
mereka atau yang bukan mahram.
Dalam
ajaran Islam, perempuan Muslim yang telah dewasa wajib mengenakan jilbab dan
kerudung yang menutup seluruh tubuhnya kecuali wajah dan telapak tangan. Busana
Muslim itu harus terbuat dari bahan yang tebal dengan ukuran yang besar
sehingga tak akan menampakkan warna kulit dan bentuk atau lekuk tubuh orang
yang mengenakannya.
Para
wanita juga wajib mengenakan busana tertutup itu saat keluar rumah dan ketika
bertemu dengan lawan jenis yang tidak memiliki hubungan kekerabatan yang dekat
dengan mereka.
Namun,
kini, pemerintah Arab Saudi kini tak mewajibkan penerapan peraturan mengenai
busana Muslim dan aktivitas para perempuan. Bahkan, tidak ada larangan bagi
wanita tentang bagaimana mereka berpakaian dan mereka boleh tidak mengenakan
busana Muslimah, seperti hijab, cadar, nikab atau burka, termasuk di tempat
kerja.
Hal
di atas, sebagai dampak dari proses dan berprosenya Kerajaan Arab Saudi menuju era modernisasi di hampir seluruh sisi
kehidupan dalam upaya mewujudkan Visi 2030 yang telah diluncurkan oleh Putra
Mahkota Muhammad bin Salman.
Visi
tersebut menegaskan keinginan Arab Saudi menjadi pusat dunia Arab dan Islam,
kekuatan investasi dunia, dan pusat yang menghubungkan tiga benua, yakni Asia,
Afrika dan Eropa. Termasuk pengembangan budaya menuju Visi Kerajaan 2030,
pemerintah Saudi memiliki Otoritas Budaya Umum yang berurusan dengan
pengembangan bioskop, teater, musik, seni visual, dan sastra.
Oleh
sebab itu, sejumlah langkah telah dan akan diambil oleh Pemerintahan Raja
Salman guna mewujudkan misi tersebut, yang juga mempengaruhi perubahan budaya. Salah
satu langkah itu yang cukup mengejutkan dunia adalah diberikannya kesempatan
yang luas kepada para wanita untuk turut serta menyukseskan program-program
pembangunan di segala bidang, termasuk langkah-langkah modernisasi di mana para
perempuan bisa bekerja dengan memakai busana yang disukai selama mereka tetap
menjaga kesopanan.
Salah
seorang pejabat yang bertanggung atas media internasional pada Kementerian
Budaya dan Informasi Pemerintah Arab Saudi Khaleed A.A. Al Ghamdi, mengatakan
bahwa
Putri Arab, Deena Abdulaziz Al-Saud |
Adalah hak para wanita Arab Saudi untuk mengenakan busana yang mereka sukai. Majelis Ulama dan komunitas agama dapat menerima cara bagaimana wanita berbusana karena hal ini tidak bertentangan dengan program modernisasi pemerintah.
Di antara para ulama yang setuju dengan modernisasi Saudi tersebut adalah (Sheikh AbdurRahman) As-Sudais (Presiden Masjidil Haram) dan Sheikh Saleh Al-Talib (salah seorang imam di Masjidil Haram. Memang ada ulama yang berbeda pendapat dengan pemerintah karena masyarakat Arab Saudi memiliki hak mereka masing-masing untuk berpendapat selama mereka tidak menyakiti orang, namun mereka bisa mengkritisi sistem yang dijalankan pemerintah.
Ulama besar Islam seperti Imam Hambali dan Imam Syafii, juga memiliki perbedaan pandangan dalam beberapa hal, namun mereka tidak bisa memaksakan pendapat mereka mengenai suatu hal kepada orang lain.
Para ulama yang terlalu konservatif tidak mewakili kebijakan pemerintah. Oleh karena itu, aturan mengenai busana perempuan Muslim yang berkaitan dengan bentuk dan warana juga tak bisa dipaksakan kepada kaum wanita di Arab.”
Salah
seorang pegawai Departemen Teknik TV Saudi Ghozal Alqabbani, satu contoh
perempuan Saudi yang mengenakan busana sesuai keinginannya, tanpa ada paksaan
dari pihak mana pun karena tidak ada lagi peraturan pemerintah yang mengatur
hal tersebut. Menurutnya, "Jadi, kerja saja, jangan takut dengan apa yang
Anda lakukan."
ANTARA NEWS
Cadar Bukan Ajaran Islam Oleh: Sumanto Al Qurtuby
Cadar Yahudi
Oleh: Sumanto Al Qurtuby
Oleh: Sumanto Al Qurtuby
Jika Anda tidak paham dengan seluk-beluk kesejarahan dan studi tentang percadaran, mungkin Anda akan mengira kalau foto-foto di sini, adalah sekelompok perempuan Muslimah di Arab atau kawasan lain. Padahal tidak. Mereka adalah para perempuan Yahudi.
Foto tiga orang bercadar yang mirip niqab di sejumlah Negara Arab Teluk ini adalah para perempuan “Yahudi Yaman”. Komunitas Yahudi Yaman atau al-Yahudu al-Yamaniyun yang konon masih “keluarga besar” Yahudi Mizrahi sudah ada ribuan tahun sebelum Islam lahir di Jazirah Arabia. Mereka memiliki tradisi agama yang unik, beda dengan kelompok Yahudi lain seperti Ashkenazi, Sephardi, dlsb.
Meskipun bernama “Yahudi Yaman”, mereka bukan berarti cuma tinggal di Yaman. Banyak dari mereka yang tinggal di Israel, Amerika, dlsb.
Sedangkan foto dua perempuan (bersama anak-anak) yang mengenakan cadar mirip burqa adalah komunitas Yahudi Heredi di Israel.
Kelompok perempuan Yahudi bercadar di Israel ini dikenal dengan sebutan “Nesot HaSalem” atau “Perempuan yang memakai syal”. Karena memakai cadar mirip perempuan di zaman rezim Taliban di Afganistan, mereka pun kadang disebut “Yahudi Taliban”. Kain cadar itu mereka namakan “frumka”.
Baik Yahudi Yamani maupun Yahudi Heredi adalah contoh kecil dari komunitas “Yahudi Garis Lurus” (masih ada sejumlah kelompok Yahudi lain yang berhijab dan bercadar) yang mengklaim bahwa cadar itu adalah asal-usulnya merupakan “tradisi Yahudi” (bukan “tradisi Islam” atau “tradisi Arab”) seperti termaktub dalam teks-teks keagamaan mereka.
Oleh karena itu, tidak heran jika perempuan dari kelompok literalis Yahudi ini selalu mengenakan cadar jika keluar rumah dan berada di tempat-tempat umum.
Nah, sekarang silakan Anda jawab: cadar itu “Syariat Islam” atau “Syariat Yahudi”? Ingat: “Barang siapa menyerupai suatu kaum…he he
Aug 3, 2017
Cadar Bukan Ajaran Islam Oleh: Sumanto Al Qurtuby
Apakah semua perempuan Saudi memakai cadar kalau bepergian, keluar rumah, dan di area publik?
Tidak. Anak-anak perempuan yang belum akil-baligh (kira-kira di bawah 13/14 tahun) tidak memakai cadar. Perempuan mudi dan dewasa pun tidak semua mengenakan cadar. Banyak yang tidak memakainya. Karena mereka menganggap cadar bukan ajaran Islam (beda dengan hijab), maka mereka fleksibel soal cadar ini.
Perempuan yang mengenakan cadar pun karena alasan yang bersifat sosial-kebudayaan bukan teologi-keagamaan, yakni untuk merawat “tradisi dan budaya” yang sudah turun-temurun diwariskan oleh para leluhur mereka, yaitu masyarakat Arab Baduin yang tergolong “pastoral nomad” (nomadic pastoralists) dalam pola hidupnya, yakni hidup berpindah-pendah bersama keluarga dari satu tempat ke tempat lainnya untuk mencari penghidupan dan sumber-sumber ekonomi.
Sebagian perempuan yang bercadar ini melepas cadarnya kalau sedang bepergian ke Luar Negeri (keluar dari teritori Saudi). Mereka beralasan cadar hanya tradisi/budaya Jazirah Arabia karena itu tidak ada alasan buat mereka untuk tetap memakainya kalau berada diluar Saudi. Meski begitu, ada juga yang tetap mengenakan cadar meskipun berada diluar Saudi dengan berbagai alasan dan pertimbangan.
Apakah di Saudi hanya perempuan penganut Salafi-Wahhabi saja yang bercadar?
Tidak. Siapa saja boleh bercadar. Baik pengikut Salafi-Wahabi, Sunni, bahkan Syiah boleh mengenakan cadar, dan memang banyak dari mereka yang bercadar (terutama perempuan pemudi, dewasa dan emak-emak). Seperti saya jelaskan, karena cadar (khususnya jenis “niqab”) dianggap sebagai “tradisi dan budaya Jazirah Arabia”, maka perempuan dari kelompok Islam manapun (termasuk Syiah) di kawasan ini bercadar (kalau berminat memakainya tentunya karena memang tidak ada paksaan).
Apakah hanya perempuan Arab di Saudi saja yang mengenakan cadar?
Tidak. Selain Arab Saudi, sebagian perempuan Bahrain, Kuwait, Oman, Yaman, dan Uni Emirat Arab juga mengenakan cadar karena merasa berbagi budaya di Semenanjung Arabia. Selain itu, masyarakat Arab yang masih kuat “kultur Beduin”-nya juga mengenakan cadar, bukan hanya di Semenanjung Arabia saja tetapi juga di Suriah, Irak, dlsb. Selebihnya, perempuan Arab sama sekali tidak bercadar. Bahkan yang tidak berhijab (penutup rambut/kepala) pun banyak melimpah ruah, meskipun mereka mengenakan abaya (pakaian tradisional perempuan Arab).
Tidak. Selain Arab Saudi, sebagian perempuan Bahrain, Kuwait, Oman, Yaman, dan Uni Emirat Arab juga mengenakan cadar karena merasa berbagi budaya di Semenanjung Arabia. Selain itu, masyarakat Arab yang masih kuat “kultur Beduin”-nya juga mengenakan cadar, bukan hanya di Semenanjung Arabia saja tetapi juga di Suriah, Irak, dlsb. Selebihnya, perempuan Arab sama sekali tidak bercadar. Bahkan yang tidak berhijab (penutup rambut/kepala) pun banyak melimpah ruah, meskipun mereka mengenakan abaya (pakaian tradisional perempuan Arab).
Apakah semua mazhab dalam Islam menginstruksikan tentang pemakaian cadar bagi kaum perempuan?
Tidak. Hanya mazhab Hanbali (dan turunannya, termasuk Salafi-Wahabi) saja yang cukup ketat dalam persoalan cadar ini. Mazhab-mazhab Islam lain sangat longgar dan fleksibel. Karena Saudi secara formal mengikuti mazhab Hanbali, maka tidak heran jika masalah percadaran ini begitu dominan disini. Tetapi pengikut mazhab Hanbali dan turunanya bukan hanya di Saudi saja, melainkan juga di negara-negara lain. Karena itu tidak heran jika kita menyaksikan perempuan bercadar di India, Pakistan, Bangladesh, Afganistan, dan bahkan Indonesia.
Meskipun mazhab Hanbali yang paling jelas tentang instruksi pengenaan cadar ini, perempuan yang memakai cadar tidak secara otomatis bermazhab Hanbali. Sebagian perempuan mengenakan cadar karena berbagai alasan: dari alasan yang bersifat sosial-budaya (Semenanjung Arabia) atau memelihara warisan tradisi perempuan Arab Baduin sampai alasan pragmatis (supaya tidak terkena debu dan terik matahari) dan keamanan (misalnya supaya tidak diganggu oleh kaum lelaki yang burungnya ngacengan he he).
Dalam konteks Timur Tengah, apakah hanya perempuan Arab Muslimah saja yang mengenakan cadar?
Tidak. Perempuan Yahudi Ortodoks juga bercadar. Perempaun Arab Kristen ortodoks juga bercadar. Meskipun tentu saja ada yang tidak. Mereka mengenakan cadar karena menganggap cadar sebagai tradisi dan kebudayaan perempuan yang tinggal di kawasan Timur Tengah, baik Arab, Yahudi, Persia, Kurdi, dan lainnya. Baik Muslim maupun bukan.
Tidak. Perempuan Yahudi Ortodoks juga bercadar. Perempaun Arab Kristen ortodoks juga bercadar. Meskipun tentu saja ada yang tidak. Mereka mengenakan cadar karena menganggap cadar sebagai tradisi dan kebudayaan perempuan yang tinggal di kawasan Timur Tengah, baik Arab, Yahudi, Persia, Kurdi, dan lainnya. Baik Muslim maupun bukan.
Bagaimanakah bentuk-bentuk cadar ini? Bagaimana sejarah evolusi cadar dari zaman Assyria hingga dewasa ini? Sejak kapan Islam mengadopsi praktek bercadar ini? Jangan kemana-mana, panteng terus disini _(Bersambung)._
*#CadarBukanAjaranIslam*
Aug 3, 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar