11 Desember, 2018

Prosedur Pembongkaran Gedung Gereja Oleh Pemda



Berdasar pengalaman, ini prosedur pembongkaran Gereja (ini terjadi pada Gedung Gereja yang akan dan sementara dibangun serta Gedung Darurat yang dipakai beribadah, termasuk renovasi Gedung Gereja yang lama) antara lain,


  1. Jika mau membangun gedung gereja, maka Gereja (dhi. Panitia Pembangunan atau pengurus/majelis Gereja) harus mengurus surat sesuai dengan Peraturan PEMDA dan Peraturan Bersama Dua Menteri; ini adalah hal yang standar atau baku. Dua surat yang sangat penting, melebihi Kitab Suci untuk pembangunan Gedung Gereja yaitu IMB dan Izin Penggunaan Gedung
  2. Diawali dengan rekomendasi/izin warga sekitar rencana lokasi pembangunan gereja. Pada umumnya, berdasar pengalaman, gereja relatif mudah mendapat izin dari warga setempat/sekitar (minimal 70 K)
  3. Setelah itu, Gereja mengajukan surat ke Lurah-Kelurahan (untuk mendapat rekomendasi agar di bawa ke Camat/Kecamatan, selanjutnya ke Walikota atau Bupati). Tapi, bukan sekedar itu; Gereja harus melengkapi dengan Copy tanda daftar Organisasi Gereja tingkat Nasional dan Lokal, Susunan Pengurus Gereja Tingkat Nasional dan Setempat, daftar Warga Jemaat (termasuk alamat lengkap), Keterangan Kepemilikan Tanah, dan lain sebagainya (yang kadang tebalnya mencapai 100 halaman)
  4. Pihak Kelurahan, tidak langsung memberi rekomendasi; ini bisa mencapai waktu sampai berbulan atau tahunan, baru ada balasan, itupun harus melalui proses negoisasi yang melelahkan. Jika proses yang lama ini terjadi, biasanya mulai muncul orang-orang bukan warga setempat, yang melakukan penolakan terhadap rencana pembangunan gedung gereja (hebatnya, bagaimana dan dari mana mereka bisa tahu!?). Juga kadang muncul warga yang sudah menyetujui pendirian gereja, menarik kembali kesediaannya; artinya menolak; jika itu terjadi maka Gereja harus melakukan sosialisasi ulang
  5. Jika telah ada rekomendasi dari Lurah/Kelurahan, maka proses selanjutnya ada di Camat–Kecamatan. Prosedur dam rentang waktu pun hampir sama, membutuhkan masa yang berbulan-bulan hingga bertahun-tahun. Bersamaan dengan lamanya waktu tersebut, maka semakin terlihat ada rombongan orang yang melakukan penolakan terhadap pembangunan gedung gereja. Jika sudah ada gereja kecil atau darurat untuk beribadah pada setiap hari Minggu, maka akan muncul berbagai aksi-aksi provaktif; misalnya melempar atap gereja di saat ibadah/kebaktian, membuat bising dengan suara kendaraan, insiden di parkiran, membuang sampah di halaman gedung gereja, dan lain sebagainya
  6. Adakalanya, ketika menanti surat rekomendasi dari Camat/Kecamatan tersebut, ada semacam izin moral yang lisan, agar panitia pembangunan membangun; di sini seringkali pengurus Gereja (dalam ketulusan mereka), menerima dan melihat sebagai adanya etikad baik dari aparat dan kesediaan mereka memberi izin membangun gedung gereja. Dengan demikian mereka (pihak gereja) membangun (dengan pelan/bertahap) sampai menanti rekomendaisi dari camat atau IMB dari Walikota–Bupati. Tapi, rekomendasi dari Camat–Kecamatan tersebut bisa memakan waktu bertahun-tahun (apalagi jika ada pergantinan pejabat, maka surat-surat dari Kelurahan akan dimulai dari awal lagi)
  7. Seiring dengan rentang waktru yang lama itu, orang-orang yang menolak pembangunan–keberadaan Gedung Gereja, semakin bermunculan (umumnya ormas-ormas atas nama etnis dan agama yang bersifat radikal). Mereka melakukan demo, tekanan, protes, dan bahkan intimidasi terhadap warga gereja yang mau beribadah (termasuk ke/pada warga agar menolak adanya gereja)
  8. Jika sikon seperti diatas (7) terus menerus terjadi, maka pihak Kecamatan jadikan hal-hal tersebut sebagai alasan untuk menolak memberi rekomendasi agar Gereja mengurus IMB dan Surat Izin Penggunaan Gedung ke tingkat yang lebih tinggi (misalnya Walikota atau pun Bupati)
  9. Bisa juga, rekomendasi dari Camat-Kecamatan sudah ada, akan tetapi di tingkat Walikota–Bupati sampai bertahun-tahun (pada beberapa kasus hingga lebih dari 10 tahun, Gereja mengurus IMB dan Izin Penggunaan Gedung) tidak mengeluarkan surat tersebut. Sementara, pada rentang waktu tersebut, gedung gereja yang dibangun secara pelan-pelan–bertahap sudah jadi/selesei, bahkan telah digunakan sebagai /untuk kegiatan beribadah
  10. Pada sikon seperti itu, dari pihak Walikota–Kabupaten, bukan lagi melihat bahwa ada surat permohonan (dari Gereja untuk) mendapat IMB dan Izin Penggunaan Gedung, melainkan justru menanggapi sebagai pelanggaran peraturan Pemda
  11. Karena ada gedung yang dibangun tanpa izin maka harus disegel
  12. Jika sudah segel, maka dalam hitungan hari, akan dibongkar; dan ketika disegel (dan akan dibongkar), Pemda pun memberikan alasan klise  bahwa kehadiran dan pembangunan gedung Gereja telah meresahkan warga setempat dan juga tak ada izin)
Silahkan anda menilai sendiri, jika ada gedung gereja yang dibongkar, maka di mana letak kesalahannya yang esensinya!? pada gereja yang membangun tanpa izin atau di aparat Pemda yang sengaja menghambat dan kemudian merobohkannya!?

Oleh Jappy MP 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar