Namanya
Slamet, namun sayang nasibnya tak beruntung. Pria paruh baya warga Kelurahan
Purbayan Kotagede Yogyakarta ini meninggal lantaran tersedak makanan. Tidak
berhenti sampai di situ, nasib malang berlanjut bahkan selepas yang
bersangkutan dimakamkam.
Kebetulan Slamet seorang Katolik. Dan layaknya umat agama tersebut, patok
makamnya berupa tanda salib. Namun, saat akan dimakamkan, warga sekitar tempat penguburan menolak patok
tersebut ditancapkan. Mereka bahkan menggergaji patok tanda peristirahatan
terakhir Slamet sehingga bentuknya mirip huruf T atau salib
Kabarnya, pemotongan tadi atas persetujuan keluarga korban. Alasannya ada
penolakan warga atas pemakaman almarhum. Sebabnya menurut seorang tokoh warga karena kompleks makam tersebut adalah
pemakaman muslim, sementara Slamet bukan.
Meski kemudian ada bantahan dari Ketua RT setempat bahwa pemakaman
tersebut adalah kompleks umum. Anda kaget? Anda shock? Anda tercengang tak percaya?
Well, ini bukan fiksi di negeri pararel entah berantah. Ini nyata terjadi
di Yogyakarta. Apa yang bisa dipetik dari kejadian memalukan itu?
Pertama bahwa pandangan eksklusifitas itu ada dan nyata. Dipegang,
dipercaya dan dieksekusi nyata oleh sebagian saudara sebangsa kita.
Kedua intoleransi itu nyata dan kadang tak disadari oleh pelakunya.
Sebagaimana klaim sang tokoh warga yang menyebut mereka toleran, buktinya
mereka mengijinkan Slamet dimakamkam bahkan membantu proses pemakaman. Mereka lupa, bahwa tindakan menggergaji patok makam lantaran perbedaan
agama menyibak borok hipokritas yang ada.
Ketiga hegemoni dan represi mayoritas itu nyata. Sebagaimana klaim
'persetujuan' keluarga korban atas pemotongan yang dibuktikan dengan pernyataan
tertulis istri almarhum.
Warga nampaknya alpa keluarga korban adalah minoritas, 1 dari 3 keluarga
minoritas di antara ratusan warga mayoritas. Mereka sedang berduka dan terpaksa
atau dipaksa menerima perlakuan macam itu.
Bagi yang tak pernah hidup dan tinggal di suatu kawasan sebagai minoritas
mungkin tak akan paham. Bagaimana rasanya hidup dalam bayang-bayang ketakutan.
Bagaimana musti merepresi diri sendiri, mengikuti kemauan mayoritas, atas nama
menjaga harmoni.
Keempat negara dan pemerintah dalam kasus ini gagal menjaga hak serta
martabat warganya. Akan lebih gagal lagi jika tidak ada tindak lanjut mengatasi
masalah ini.
Kelima, perbuatan ini bisa dibilang penistaan agama. Apa sebab? Patok
berbentuk salib adalah simbol agama yang resmi diakui tak hanya oleh negara
namun juga dunia.
Penggergajiannya sama saja menistakan simbol agama tersebut. Bayangkan
bagaimana marah, terluka, dan terhinanya saudara-saudara kita yang
mengimaninya?
Slamet menambah daftar panjang praktek intoleransi di negeri ini. Slamet
mungkin sudah dimakamkan, keluarganya mungkin sudah merelakan, istri dan
anaknya mungkin sudah memaafkan, namun hal itu tidak menjadikan masalah ini
selesai begitu saja.
Ada PR besar bangsa kita. PR tentang toleransi. PR tentang inklusifisme.
Ada tantangan besar bangsa kita. Tantangan bernama intoleransi. Tantangan
berupa eksklusifisme.
Jangan sampai ada Slamet Slamet yang lain. Jangan sampai hal memalukan
macam ini mengoyak lagi benang-benang kebangsaan kita. Jika tidak, bisa-bisa
ramalan Indonesia punah terwujud nyata.
Tabik!
Hasto Suprayogo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar