Pada tahun 2014, Rakyat Indonesia dari berbagai kalangan (bukan saja dari PDIP, namun dari berbagai latar belakang politik, SARA, strata), secara bersama serta serempak mendukung Jokowi untuk menjadi Presiden RI. Namun, pada saat itu, tak sedikit yang cuek dan ‘sa bodo dengan semuanya itu; mereka justru menolak Jokowi, dengan semboyan, No Jokowi, Katakan Tidak Untuk Jokowi, Yang Penting Bukan Jokowi, dan seterusnya.
Tentu saja kelompok-kelompok itu mempunyai alasan-alasan yang (menurut mereka) tepat, benar, logis, (walau kadang tak masuk akal dan dibuat-buat), serta patut menjadi kekuatan untuk menolak Jokowi sebagai Presiden RI yang akan datang.
Berdasar pengalaman, data, fakta, serta jejak digital, kelompok-kleompok tersebut adalah,
- Parpol berbasis agama, ormas keaganaan yang radikal, preman (independen, terorganisir, dan berlabel ormas), politisi hitam, pengusaha hitam, para koruptor, dan sejenisnya; bagi mereka jika Jokowi menjadi Presiden, maka selesailah kelanjutan karier dan kejahatan mereka. Mereka-mereka ini mungkin tak saling terkait, atau bahkan bersaing satu sama lain, akan tetapi demi No Jokowi, mereka menyatu diri, bergerak bersama, serta lakukan aksi yang sama. Misalnya aksi-aksi yang dilakukan oleh masa hizbut tahrir, fpi, pks, dan ppp
- Barisan Sakit Hati; mereka adalah orang-orang (dan para pendukungnya) yang pernah dikalahkan Jokowi pada waktu perebutan RI 1 dan 2. Bagi mereka, kekaklahan tersebut adalah aib, malapetaka, dan menyakitkan sekaligus tak bisa dihapus begitu saja. Oleh sebab itu, Jokowi harus dilawan dengan berbagai cara; ia harus stop sebagai Gubernur DKI, dan tak lebih dari itu
- Kandidat-kandidat yang bernafsu menjadi Presiden RI. terutama mereka yang sudah sekian lama ingin-mau menjadi Presiden RI, akan tertapi tak terpilih (atau belum terpilih!?), mereka akan adu nasib dalam Pilpres yang akan datang, siapa tahu terpilih menjadi Presiden. Yang paling menyakitkan bagi mereka, Ko’ bisa, Jokowi yang bukan siapa-siapa di tingkat nasional, tiba-tiba diterima oleh banyak kalangan agar menjadi Presiden RI
- Parpol-parpol yang biasa menjadi penjilat Parpol Besar/Pemenang Pemilu dengan alasan koalisi; mereka nekad sebagai koalisi (walau beda idiologi dengan Parpol Pemenang Pemilu) agar kebagian Jabatan di Kementerian, BUMN, dan lain-lain. Dan dengan itu, mereka bisa menguras uang negara. Mereka takut jika Jokowi jadi Presiden RI; bayangkan saja, jika cara lelang jabatan (ala Jakarta) juga dilakukan untuk mengisi jabatan di Kementerian, BUMN, Lembaga lainnya, maka para parpol koalisi tersebut akan gigit jari
- Mereka yang tak mau Ahok menjadi Gubernur DKI. Jika kelompok ini, sudah jelas siapa mereka (silahkan anda isi sendiri, ….). Mereka semakin berusaha agar Jokowi tak menjadi Prediden, karena jika itu terjadi maka Gubernur DKI adalah Ahok, dan itu adalah kiamat.
- ….. mungkin saja saya, anda, ente, dia, mereka (isi sendiri deh)
Mereka yang termasuk kelompok No Jokowi itulah yang kini mulai panik, ribut, amai, dan gunakan berbagai cara agar Jokowi tak menjadi Kandidat Presiden.
Caranya!? mulai dari biayai ormas untuk melakukan demo penolakan, lakukan perang opini melalui media online, sampai besar-besarkan, dwi-minoritasnya Ahok; bahkan menjurus pada upaya menciptakan ketidakstabilan keamanan pada masyarakat. Semuanya itu, akan dibungkus menjadi Frame Kegagalan Jokowi, apalagi mau jadi Presiden RI dua periode.
Semuanya itu, akan dibungkus menjadi Frame Kegagalan Jokowi, apalagi mau jadi Presiden RI dua periode.
BTW, diriku masuk jenis yang mana!? Pastinya diriku termasuk Mereka yang menolak Jokowi tidak mau menjadi Presiden RI.
Cukup lah .....
JAPPY
Sepuluh tahun lalu, Joko Widodo mungkin tak terpikir akan menjadi seorang Presiden RI seperti sekarang. Bahkan saat itu pria yang akrab disapa Jokowi itu dikenal secara nasional pun tidak. Tapi karir politik, pria kelahiran Surakarta, 21 Juni 1961 itu sangat cemerlang dan berlangsung cepat.
Jokowi memantapkan hati bergabung dengan Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) pada sekitar tahun 2004. Kala itu, Jokowi menduduki posisi puncak di DPC PDIP Solo.
Pada tahun 2004 itu pula Jokowi mengenal FX Hadi Rudyatmo yang sudah lebih dulu masuk DPC PDIP Solo. Kedekatan Jokowi dan FX Hadi berlanjut saat keduanya dipercaya PDIP dan PKB maju sebagai calon Walikota dan Wakil Walikota Solo tahun 2005.
Jokowi dan FX Hadi berhasil memenangkan Pilkada Solo dengan meraih suara sebesar 36,62 persen. Tak signifikan memang, tapi itu cukup membanggakan sebagai pencapaian pertama Jokowi dalam politik.
Mulailah Jokowi sebagai walikota melakukan pembenahan untuk Kota Solo. Mulai dari infrastruktur, penataan Pedagang Kaki Lima (PKL), pengembangan ekonomi, pelayanan kesehatan dan pendidikan, hingga ‘rebranding’ Kota Solo sebagai ‘The Spirit of Java’.
Kinerja Jokowi dan FX Hadi membuat masyarakat Solo puas dan berbangga. Hal itu terbukti saat Jokowi dan FX Hadi kembali mencalonkan diri dalam Pilkada Kota Solo periode kedua 2010-2015. Keduanya mengantongi suara yang sangat fantastis, 90,09 persen suara! Nyaris tak ada dalam sejarah pemilu Indonesia, kandidat mendapat angka hampir 100 persen.
Cerita kesuksesan Jokowi di Kota Solo dalam periode kedua, kemudian terdengar oleh para jurnalis media-media nasional. Bukan saja hanya karena kinerja, tapi lebih karena kepribadiannya. Terutama soal kesederhanaan, kejujuran dan kesantunan Jokowi dalam berpolitik.
Di struktur partai, Jokowi kala itu sudah menduduki posisi sebagai wakil ketua salah satu bidang di DPD PDIP Jawa Tengah. Memang, nama Jokowi tak banyak dilekatkan dengan sebutan ‘politisi’, tapi PDIP jua yang membesarkan namanya.
Saat sosok Jokowi yang sederhana itu mendapat perhatian luas media nasional, pria asli Jawa berperawakan kurus ini juga mencuri hati tokoh nasional di antaranya Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto. Keduanya, meminta Jokowi untuk mencalonkan diri sebagai Gubernur DKI Jakarta pada tahun 2012, atau saat Jokowi masih menyisakan sekitar 3 tahun lagi masa jabatan di Solo.
Jokowi menerima tantangan maju dalam Pilgub DKI pada tahun 2012 bersama Basuki Tjahaja Purnama (Ahok). Tak mudah bagi pria berperawakan kerempeng yang ‘diimpor’ dari Solo menang di DKI, karena ada 6 pasangan calon yang berkompetisi kala itu termasuk Fauzi Bowo yang diusung 7 partai.
Jokowi bahkan dikecam karena tak menyelesaikan masa jabatannya di Solo seperti yang sudah diduganya. Tapi dia optimistis bahwa dukungan masyarakat bisa memaklumi dan membawanya jadi orang nomor satu di ibukota. Terlebih, sebagai ‘media darling’ membuat Jokowi berada sedikit di atas angin.
Akhirnya, berkat kekuatan politik PDIP dan Gerindra sebagai pengusung, melalui jargon ‘The power of kotak-kotak’, Jokowi berhasil membuat mayoritas warga DKI mempercayainya sebagai Gubernur DKI periode 2012-2017.
Selamat! Anak dari Sujiatmi Notomiharjo itu kini duduk sebagai ‘penguasa’ ibukota.
Namun belum genap setahun menjabat, Jokowi terusik dengan ekspose survei-survei elektabilitas capres jelang Pilpres 2014 dan pemberitaan dirinya sebagai gubernur yang makin intensif. Sejak dua tahun lalu, tak ada tokoh yang bisa menyaingi elektabilitasnya di lantai bursa capres. Maka sekali lagi, insting politik seorang ‘tukang kayu’ ini diuji.
Survei capres itu menghembuskan pesan, ‘mutiara’ memang tak cukup hanya dikeluarkan dari dalam cangkang dasar laut, lalu diangkat ke permukaan. Publik ingin Jokowi bisa memberi manfaat lebih luas. Saat itulah secara perlahan namun pasti hampir seluruh survei menyebut Jokowi layak menjadi Presiden RI.
Maka tahun 2014, Jokowi resmi menjadi calon presiden bersama Jusuf Kalla. Lawan kuat Jokowi di Pilpres adalah tokoh yang dulu memintanya menjadi Gubernur DKI, Prabowo Subianto. Jokowi dan Jusuf Kalla berhasil mengalahkan Prabowo-Hatta dalam sekali pertandingan Pilpres, dengan meraih 53,15 persen suara. Pertandingan ini menjadi ‘ring Pilpres’ paling bersejarah di Indonesia karena hanya mengadu dua pasangan kandidat.
Jokowi, pria yang oleh Ketua Umum PDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri sempat disebut calon presiden ‘kerempeng’ itu pukul 10.00 Senin (20/10/2014) pagi ini akan dilantik dan mengucapkan sumpah sebagai Presiden ketujuh.
Dari Berbagai Sumber
Publikasi oleh Opa Jappy | Ketum Komunitas Indonesia Hari Ini
Publikasi oleh Opa Jappy | Ketum Komunitas Indonesia Hari Ini
Anti Jokowi pada 2014 dan 2018, Nyaris Sama
Hari Ini dari Sekitaran Universitas Indonesia, Depok - Jawa Barat | Pemilhan Presiden RI Tahun 2019, semakin dekat; banyak pihak sudah menghitung maju menuju 'H Day.'
Konsilidasi intern para Capres/Cawapres bersma Parpol pengusung, Tim Pemenangan, dan relawan semakin intens. Kampanye dan upaya tebar pesona para Capres/Cawapres pun semakin TSM, melalui dan dengan berbagai cara.
Semuanya itu, ditambah lagi dengan 'pelepasan' sejumlah 'Tim Perusak alias Pengacau' di Dunia Maya dan Dunia Nyata. 'Tim Pengacau' ini, jika tertangkap atau terciduk, maka mereka bisa 'ngeles' sebagai tidak ada hubungan dengan Capres/Cawapres tertentu; dan pastinya pasangan Capres/Cawapres pun tidak mengakui mereka.
Kerja tim pengacau itu mudah terlihat; misalnya menyebarkan orasi dan narasi kebencian serta hoaks, merusak alat-alat bantu kampanye seperti sapanduk, poster, dan lain-lain. Faktanya, saya menemukan mereka di beberapa tempat.
Selain itu, dari lingkaran Capres/Cawapres, ada tim khusus yang ditugaskan untuk membangunkan 'sel-sel tidur.' Sel-sel tidur tersebut adalah orang-orang atau kelompok yang anti atau tidak mendukung Capres/Cawapres tertentu. [Note: Pada waktu Pilkada DKI, beberapa orang dari antara mereka, mengundang saya di salah satu Rumah Makan Terkenal di Jakarta. Waktu itu, mereka menjelaskan cara kerjanya, sambil mengajak saya bergabung. Namun, saya menolak dengan tegas].
Tahun 2018, jelang Pilpres RI 2019, 'sel-sel tidur' sejak 2012/2013/2014 yang memusuhi Jokowi tersebut, ternyata sudah bangun dan bergerak, bahkan melahirkan atau membentuk kelompok-kelompok baru.
Mereka nyaris tak berubah, dan hanya dengan sedikit polesan, misalnya hoaks dengan isu serta bungkusan Agama, Komunis, Utang Luar Negeri, langsung membuat para pembenci Jokowi, tergerak nafsu, benci, dan kebencian. Mereka pun memadu suara dengan nada sumbang, fals, dan miring.
Lalu, jika sekarang, anda melakukan penelusuran, dengan cara malas pun, maka mudah menemukan sejumlah nama, orang, gerakan, komunitas, kumpulan, yang sejak lama, 2012, 2013, 2014 hingga kini, yang bisa dikategorikan sebagai para 'pembenci Joko Widodo.' Mereka adalah
1. Parpol berbasis agama, ormas keaganaan yang radikal, preman (independen, terorganisir, dan berlabel ormas), politisi hitam, pengusaha hitam, para koruptor, dan sejenisnya; bagi mereka jika Jokowi menjadi Presiden, maka selesailah kelanjutan karier dan kejahatan mereka.
Mereka-mereka ini mungkin tak saling terkait, atau bahkan bersaing satu sama lain, akan tetapi demi No Jokowi, mereka menyatu diri, bergerak bersama, serta lakukan aksi yang sama. Misalnya aksi-aksi yang dilakukan oleh masa hizbut tahrir, fpi, pks, dan PPP [PPP, semua kubu, pada Pilpres 2019, mendukung Jokowi MA].
2. Barisan Sakit Hati; mereka adalah orang-orang (dan para pendukungnya) yang pernah dikalahkan Jokowi pada waktu perebutan RI 1 dan 2. Bagi mereka, kekalahan tersebut adalah aib, malapetaka, dan menyakitkan sekaligus tak bisa dihapus begitu saja.
Oleh sebab itu, Jokowi harus dilawan dengan berbagai cara; ia harus stop sebagai Gubernur DKI, dan tak lebih dari itu.
3. Kandidat-kandidat yang bernafsu menjadi Presiden RI. Terutama mereka yang sudah sekian lama ingin-mau menjadi Presiden RI, akan tertapi tak terpilih (atau belum terpilih!?), mereka akan adu nasib dalam Pilpres yang akan datang, siapa tahu terpilih menjadi Presiden. Yang paling menyakitkan bagi mereka, Ko' bisa, Jokowi yang bukan siapa-siapa di tingkat nasional, tiba-tiba diterima oleh banyak kalangan agar menjadi Presiden RI.
4.Parpol-parpol yang biasa menjadi penjilat Parpol Besar/Pemenang Pemilu dengan alasan koalisi; mereka nekad sebagai koalisi (walau beda idiologi dengan Parpol Pemenang Pemilu) agar kebagian Jabatan di Kementerian, BUMN, dan lain-lain.
Dan dengan itu, mereka bisa menguras uang negara. Mereka takut jika Jokowi jadi Presiden RI; bayangkan saja, jika cara lelang jabatan (ala Jakarta) juga dilakukan untuk mengisi jabatan di Kementerian, BUMN, Lembaga lainnya, maka para parpol koalisi tersebut akan gigit jari.
5. Mereka yang tak mau Ahok menjadi Gubernur DKI. Jika kelompok ini, sudah jelas siapa mereka (silahkan anda isi sendiri, ....). Mereka semakin berusaha agar Jokowi tak menjadi Presiden, karena jika itu terjadi maka Gubernur DKI adalah Ahok, dan itu adalah kiamat. [Nomor 1-5, Lengkapnya: Klik] Sedangkan pada Pilpres 2019, kelompok 1-5 di atas, bertambah menjadi,
6. Orang-orang dari Parpol Pendukung Prabowo-Sandi, seperti Gerindra, PKS, PAN, Demokrat. Dan, yang paling kental adalah dari Gerindra dan PKS. Sedangkan PAN dan Demokrat, bisa terlihat bahwa tak sedikit kader mereka yang kini 'bertobat,' lalu mendukung Jokowi - MA.
7. Parpol baru, atau baru muncul di Pemelihan Legislatif 2019 dan Pilpres 2019; mereka dengan alasan pertemanan, kekuluargaan, kesamaan sebagai oposisi, ikut memperkuat Prabowo - Sandi
8. Kumpulan orang-orang dari Ormas tertentu, misalnya FPI dan ormas terlarang, Hizbut Tahrir, dan juga FUI, mereka dengan alasan agama (dan keagamaan) atau munkin juga alasan tidak jelas, menjadi barisan utama pembenci Jokowi.
9. Para mantan pejabat sipil (tingkat Nasional dan Daerah) dan korps sepatu lars, karena berbagai alasan (sudah) tidak dipakai pada pemerintahan Jokowi, menyatu diri dengan oposisi, kemudian mendukung Prabowo - Sandi
10. Para konglemarat, pengusaha, petualangan politik, pelaku KKN, yang ruang geraknya dipersempit, sehingga tidak bisa melakukan kejahatannya; mereka menyatu dengan berbagai kelompok lain, kemudian membangun 'musuh bersama,' yaitu Joko Widodo.
11. Dan masih banyak lagi.
Melihat fakta seperti itu, Jokowi-MA ternyata tidak tinggal diam. Dengan pelan tapi penuh kepastian, percaya diri, dingin, dan penuh semangat Capres/Cawapres Jokowi - MA tetap melaksanakan fungsinya dengan baik dan benar. Selain itu, Jokowi sebagai Presiden RI dan Capres, mampu memilah dan menempatkan diri secara tepat sehingga tak tumpang tindih ketika tampil di tengah rakyat.
Sama halnya dengan Cawpres, MA; ia masih sebagai Ketua MUI, namun, belakangan, terlihat menahan diri dari berbagai kegiatan. Di sini, di hadapan kelompok bukan Muslim, MA mencoba menghadirkan diri sebagai sosok 'bukan MUI, melainkan Calon Wakil Presiden untuk segenap rakyat Indonesia.
Secara khusus, gerak dan gerakan Jokowi sebagai Presiden RI, tetap konsisten dan komitmen pada pembangunan yang merata dan berkeadilan. Jokowi sebagai Presiden RI pernah menyatakan bahwa, "Pembangunan tidak cuma di daerah-daerah dia menang."
Hal tersebut bisa juga bermakna bahwa daerah yang kalah dan menang tetap dibangun sesuai kebetuhan dan perencanaannya yang sudah ada, sehingga banyak hasil-hasil pembangunan yang bisa dinikmati oleh daerah-daerah tersebut, semisal daerah Jawa Barat, Sumatera Barat, kemudian daerah Riau, Gorontalo, dan seterusnya.
Dengan itu, wajar jika daerah-daerah atau kabupaten-kabupaten di Sumatera, Jawa, dan Sulawesi Jawa, yang tadinya bukan 'basis Jokowi,' kini berupaya keras agar ada kelanjutan pemerintahan Jokowi melalui Pilpres RI tahun 2019. Sehingga tidak menutup kemungkinan 70 - 80 % Kepala Daerah (Provinsi, Kabupaten, Kota) mendukung Jokowi - MA.
Dan hal yang tak kalah penting adalah, solidnya caleg Parpol Pendukung Jokowi -- MA. Koalisi pendukung dengan sekitar 18.000 caleg, secara serentak, mengkapanyekan diri sendiri dan Capres/Cawapres Jokowi-MA. Serta, hal yang juga paling menentukan (kemenangan) Jokowi-MA adalah dukungan relawan yang militan dan solid, dari tingkat daerah hingga daerah.
##
Berpolitiklah dengan baik dan benar, sehingga pada masa depan, anda dan saya dikenang sebagai Politics Leader di Negeri ini.
Opa Jappy | Relawan Indonesia Hari Ini Memilih Jokowi - IHI MJ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar