Melewati (Garis) Batas Waktu
Detik, menit, jam, hari, minggu, bulan, dan tahun,
hanya sebutan untuk memilah waktu dan masa. Sebutan yang ditandai dengan garis
batas waktu. Garis Batas yang yang tak pernah ada. Garis
Waktu tersebut selalu menemani manusia, sepanjang masa - sepanjang ia ada
- dan - selama ada hidup dan kehidupan. Dan manusia, hidup dan
kehidupannya, ada di/dalam serta di batasi oleh garis batas waktu.
Sebentar lagi, sesaat yang akan datang, sekali lagi
kita [anda dan saya] akan melewati batasan waktu yang bernama tahun
lama, kemudian memasuki gerbang abstrak tahun baru,
yang penuh tanda tanya.
Nama dan era mungkin saja berubah, tapi apakah diri
kita juga ikut di/dalam perubahan tersebut!? Banyak yang pesimis dan tak
sedikit yang optimis, namun semuanya merasa pasti bisa melewati waktu lama
kemudian memasuki era baru.
Pasti dan Kepastian itulah yang menjadikan
banyak orang berani melupakan pahit dan kepahitan; kemudian memulai sesuatu
yang sebaliknya. Sesuatu yang bisa menjadi awal yang lebih baik
dari yang telah di bawa oleh waktu kemarin.
'[Garis] Batas - batasan waktu,' adakah!? Ada pada
abstrak - khayalan, namun tak pernah hadir dalam konkrit. [Hampir] Semua orang,
pada semua lapisan serta di segenap bangsa, suku, sub-suku, menyadari benar
[dan mengikuti dengan setia], bahwa mereka ada serta terpasung di/dalam batas
dan batasan waktu. Semuanya yang di/dalam batas-batasan itu,
tak bisa memajukan dan mengundurkan garis khayal tersebut.
Dan irama hidup serta kehidupan pun selalu ada di/dalam pasungan yang
sama.
Orang Romawi [dan juga Yunani] kuno, menjumlahkan
'sejumlah waktu' menjadisatu hari yaitudari tengah malamke tengah
malam. Bangsa-bangsa di Timur Tengah [dan sekitarnya], memulai hari
pada pagi dan mengakhiri di waktu sore [ketika matahari terbenam]; dan
dengan itu mereka hidup selalu berada di/dalam satu hari dan satu
malam. Ada juga suku-suku di Asia Tenggara yang menghitung dari subuh ke
subuh sebagai satu hari; dan masih ada banyak model menghitung
hari yang lain.
Sekali lagi, tidak ada batas yang
terlihat untuk/yang memisahkan antara detik ke detik - menit ke menit
- jam ke jam - hari ke hari berikutnya; bahkan tak ada juga batas yang
memisahkan minggu, bulan, tahun; memang tak ada tetapi semua orang [yang
normal] mengikutigaris batas yang ta' terlihat itu. Mereka, dengan
setia, mengikuti perjalanan waktu dan secara universal, menaatinya; [dan hingga
kini, sikon kita] tak ada orang normal yang mengakui diri bahwa ia berada
pada/di [misalnya] tanggal 19, 20, 21, sedangkan di sekitarnya berada di/pada
tanggal 22, 23, dstnya; jika kita menyatakan diri pada pada/di tanggal
yang berbeda dengan sekitar, maka pasti di sebut ... [silahkan isi sendiri].
Para genius masa lalu, pada era dan masa
mereka, misalnya Bangsa Babel, di sekitar Euphrath dan Tiggris] menciptakan
angka-angka waktu - jam menurut Metode Bilangan Sumeria berbasis
60 atau sexagimal. [entah bagaimana perhitungannya] Menghasilkan, 60 detik - 60
Menit - Jam; dan jumlah jam dari tengah malam sampai kembali
ke tengah malam adalah 24 Jam dan di
sebut satu hari [siang terdiri dari 12 Jam dan Malam terdiri
dari 12 Jam].
Tidak ada patokan yang pasti untuk
menghitung-menjumlahkan sejumlah hari sehingga menjadi minggu [satu
minggu/mingguan]. Minggu [satu minggu-mingguan!?] adalah rentangan waktu
yang terdiri dari atau kumpulan sejumlah hari. Pada masa lalu,
bangsa Babel dan Yahudi, menjumlahkan 7 hari sebagai satu minggu; di Afrika
Barat, satu minggu terdiri dari 4 hari; di Asia Tengah dan juga Manusia
Jawa, satu minggu terdiri dari 5 hari; orang Mesir kuno, satu minggu terdiri
dari 10 hari; dan Romawi kuno, satu minggu terdiri dari 8 hari.
Pada tahun 321 Ms, Kaisar Constantine I mengeluarkan
dekrit [yang harus dilaksanakan-berlaku di semua wilayah Pax-romana]
bahwa Satu Minggu terdiri dari 7 hari, dan hari Minggu sebagai hari pertama;
dan sekaligus sebagai hari libur dan beribadah.
Para genius masa lalu, juga berhasil
menghitung sejumlah hari, yang kemudian disebut Bulan dan Tahun. Bulan
[rentang waktu satu bulan] merupakan jumlah waktu selama empat minggu!? Empat
Minggu hanya terdiri dari 28 hari, sedangkan edaran bulan selama
29 hari plus beberapa jam dan sekian menit. Jadi, satu bulan bukan karena ada 4
minggu. Sehingga perhitungan satu bulan harus diawali dengan perhitungan [satu]
tahun [365/366 hari; karena edaran Matahari akan kembali pada tempat yang
sama]. Dan dengan itu, ada Bulan yang mempunyai 28/29 hari; sert ada bulan yang
terdiri dari 30/31 hari.
Kaisar Julius, Sang Diktator Romawi, salah genius pada
masanya, melakukan pembaruan kalender, pada tahun 46 SM. Ia menetapkan satu
tahun persis 365 1/4 hari, artinya masih ada waktu yang tersisia, atau belum
genap 366 hari/satu tahun. Oleh sebab itu, setiap 4 tahun harus adapenambahan
satu hari.
Kalander Julian lebih lama 11 menit 10
detik, namun hanya dibatasi sampai masa 12 bulan; dan ia menambah waktu satu
bulan [yaitu bulan Juli, sesuai namanya] agar melengkapi waktu satu tahun
yang relatif sama dengan edaran Matahari.
Paus Gregorius XIII, tepatnya para
astronom Katolik pada era Paus Gregorius, menghitung ulang kelebihan waktu pada/sejak Kalender Julian, ternyata ada 10 hari lebih maju dari tanggal yang
sebenarnya. Artinya, kalender [almanak]lebih terlambat dari edaran waktu/masa yang sementara berjalan
Oleh sebab itu, tahun 1582, Paus
Gregorius menyetujui formula baru perhitungan waktu agar tidak terjadi
ketidaktepatan kalender. Formula baru tersebut, bahwa setiap seratus tahun atau
tahun ke seratus [1800, 1900, 2000, 2100, dan seterusnya] bukan sebagai tahun
kabisat, kecuali tahun keempat ratus, setelah tahun 2000; dan nanti
Kalender Greogorian ini bisa direvisi setelah 5000 tahun akan datang. Untuk
mengganti keterlambatan Kalender Julian [selama 10 hari], maka, ketika itu hari Jumat, tanggal 5 Oktober 1582,
maka besoknya bukan tanggal 6 Oktober 1582. TETAPI melompat atau langsung
menjadi Sabtu, 15 Oktober 1582.
1 Januari Bukan Hari Raya Kristen
Aneh dan penuh keanehan atau mungkin saja bodoh serta penuh kebodohan;
dan mungkin juga karena tidak tahu dan penuh ketidaktahuan, itu adalah reaksi
pertama ku, ketika membaca di beberapa web, mendengar teriakan serta dialog di
media elektornik. Reaksi lucu-lucuan itu muncul karena
dengan gampang si pembicara [atau nara sumber - penulis, yang saya sebut bodoh
dan dungu], menyatakan bahwa perayaan tahun baru, 31 Desember - 1
Januari adalah Hari Raya Kristen-Katolik; oleh sebab itu HARAM dan
HARAM serta HARAM untuk diikuti.
[Alasannya], pada Hari Raya itu, kaum salibis, kafir, nasrani, selalu
mengisinya dengan pesta pora, pesta sex, mabuk-mabukan, dan
berbagai gila-gilaan lainnya. Woooooooouuuuuu LUAR BIASA.
Sungguh prihatin dengan stempel - cap tersebut; dan sangat kasihan
terhadap/ke orang yang menyatakan seperti itu, karena dalam ketidaktahuannya ia
berani membuat ungkapan fitnah serta kekejian terhadap umat Kristen [Protestan
dan Katolik]; dan ini memalukan - memalukan - memalukan.
Secara kebersamaan, Protestan - Katolik, hanya mengenal Hari Raya
[sesuai dengan Kalender Liturgi Gerejawi]; hari-hari tersebut adalah
- Natal, merayakan Kelahiran Yesus Kristus
- Jumat Agung, merayakan Kematian Yesus Kristus di Salib
- Paskah, merayakan Kebangkitan Yesus Kristus
- Kenaikan, merayakan Kenaikan Yesus Kristus ke Surga
- Pentakosta, memperingati Peristiwa Turunnnya Roh Kudus
Selain itu, masih ada
beberapa hari raya khusus, dan hanya dirayakan oleh Protestan atau pun
Katolik; misalnya Hari/Bulan Kitab Suci, Hari/Bulan Pelayanan dan Kesaksian,
Hari/Bulan Oikoumenis, Hari Perjamuan Kudus Sedunia, dan lain sebagainya.
Lalu, jika bukan HARI
RAYA KRISTEN, mengapa perayaannya didekatkan dengan Natal!?
[dan ini juga sebagai dalil banyak orang, bahwa 1 Januari adalah hari raya
Kristen, karena perayaannya selalu berlanjut, 25 Desember berlanjut ke 1
Januari].
Pesta Tahun
Baru, akhiri tahun sebelumnya dan memasuki tahun yang baru telah
dilakukan oleh orang-orang Romawi, Babel, Timur Tengah, Afrika, India,
Tiongkok, dan bangsa-2 Eropa kuno, serta suku dan sub-suku di pelbagai penjuru
Bumi, jauh sebelum ada Kristen [Katolik].
Mereka merayakan suatu
kemenangan-keberhasilan mengikuti [mendampingi dari bumi/tanah] edaran
Matahari [dan juga Bulan], dan kini Sang Matahari [Bulan] telah kembali ke
tempat semula [ketika mulai berputar]. Manusia, sebagai makhluk
bawah/bumi/tanah mengikuti irama edaran Matahari dan penguasa di balik
Sang Matahari itu.
Dan sebagai tanda
kemenangan-keberhasilan, pada masa lalu, orang-orang di era itu,
melakukan berbagai ritual, tarian, persembahan, sesembahan [biasanya berupa
buah-buahan - rumput-rumputan - sayur mayur, sebagai lambang tanah yang masih
subur dan menghasilkan makanan] kepada Sang Penguasa Matahari, karena masih
membiarkan matahari ada untuk menerangi serta mempengaruhi alur hidup dan
kehidupan.
Pada sikon kekinian,
di sini dan pada banyak tempat di Bumi, model perayaan Tahun Baru seperti
pada masa lalu tersebut, tentu telah beralih - mengalami pengalihan bentuk dan
isi. Tetapi, merayakan Tahun Baru sebagai sesuatu yang penuh sukacita,
masih tetap sama. Ada kegembiraan karena [dengan segala kelebihan - kekurangan
serta aneka warna hidup dan kehidupan] masih ada kesempatan untuk melewati dan memasuki [tahun
yang lama serta tahun yang baru]
Dan semuanya
itu, bukan saja milik si kristen, si protestan, si katolik, si budha,
si hindu, dan si serta si yang lain tetapi milik semua umat manusia.
Mengapa dituduh
sebagai hari raya Kristen!? Ini tuduhan asal bunyi - asal omong - asal bicara sekaligus ngawur dan sembarangan.
LIHAT, apa yang
dilakukan mayoritas Protestan dan Katolik di planet ini. 31 Desember, ada
ibadah Tutup/Akhir Tahun di Gereja, biasanya harus selesai sebelum jam
00.00. Dan jelang jam 00.00, pada tiap keluarga Protestan-katolik
selalu berkumpul di rumah, untuk menaikkan doa bersama. Besoknya, 1 Januari,
tak sedikit yang hadir di Gereja.
Mungkin karena jarak antara 25 Desember ke 1 Januari, cuma beberapa hari; dan pada 31 Desember dan 1 Januari, gereja-gereja melakukan kebaktian/ibadah Akhir Tahun dan Awal Tahun, apakah itu langsung disebut Hari Raya Kristen!? Sungguh pendapat yang asal jadi dan asal bunyi.
Semuanya itu sebagai tanda syukur - tanda syukur dan tanda syukur.LIHATLAH juga, apakah kebaktian Akhir Tahun dan Awal Tahun tersebut penuh dengan pesta pora, pesta sex, mabuk-mabukan, dan berbagai gila-gilaan lainnya!? Dan jika ada model akhiri tahun dan awali tahu seperti di atas, apakah itu milik dan cuma dilakukan oleh si kristen!? Mereka pasti beragama namun hanya beragama dan pasti mereka tak beragama dan memang tak peduli terhadap agama. Dan adalah suatu kenistaan jika mencap pesta tahun baru adalah produk iman kristen sehingga haram.
Sampai saat ini, sejak masa lalu, belum pernah ada atau tidak ada satu keputusan [organisasi] Gereja yang menyatakan bahwa 31 Desember dan 1 Januari sebagai HARI RAYA KRISTEN dan wajib-harus dikerjakan atau pun dirayakan oleh segenap orang Kristen. Sekali lagi, TIDAK PERNAH ADA dan TAK PERNAH ADA.
Sehingga kekejaman - kekejian kata-kata bahwa pesta-perayaan tahun baru
sebagai PERAYAAN KRISTEN adalah sesuatu yang bersifat fitnah - rasis -
rasial; orang seperti itu tidak layak ada di tengah-tengah peradaban manusia;
serta tidak cocok hadir di antara gegap gempita manusia dan kemanusiaannya.
Jadi, siapa pun dia,
dari lapisan apa pun, beragama atau tak beragama, punya hak yang merayakan
akhir dan awal tahun.
Akhir dan Awal tahun
adalah milik semua manusia, milik semua ciptaan [jika masih percaya bahwa alam
semesta ada karena ciptaan TUHAN].
Akhir dan Awal tahun,
hanya pintu tak terlihat, yang di dalamnya ada peralihan diri dari sesuatu yang
kemarin ke sesuatu yang besok. Semuanya masih sama, hanya
kalender yang berubah.
Akhir dan Awal tahun adalah refleksi hidup dan kehidupan.
OPA JAPPY
Tidak ada komentar:
Posting Komentar