Ciri-ciri Fundamentalisme Kristen
Oleh
Ioanes Rakhmat
1. Mempertuhan Alkitab
Bagi para penganut fundamentalisme Kristen, Alkitab menjadi Allah keempat, di samping tiga Allah dalam doktrin tritunggal, dengan memahkotai Alkitab dengan mahkota doktrin khayalan penuh takhayul “inerrancy of the Bible”. Doktrin ini menyatakan bahwa apa pun yang dimuat dalam Alkitab, tidak bisa salah dan tidak memiliki kekurangan atau keterbatasan dalam hal apa pun dan harus dilaksanakan kapan pun dan oleh siapa pun.
Dus, doktrin ini bahkan menempatkan Alkitab lebih tinggi dari Allah sendiri, sebab hanya Allah saja yang bisa dipandang tidak bisa salah. (Sebetulnya, Allah malah juga bisa “salah”, yakni ketika suatu teologi [= iman atau ajaran ttg Allah] sudah tidak relevan lagi, sehingga konsep insani tentang Allah yang sudah tidak relevan itu harus direvisi). Dengan posisi semacam ini, para fundamentalis Kristen telah melanggar perintah, “Jangan ada ilah lain di hadapan Allah YME!”
Jika seluruh pesan dalam Alkitab dilaksanakan letterlijk, harfiah, dalam dunia kita sekarang ini, maka, mengingat Alkitab juga memuat pesan-pesan kekerasan, dunia akan senantiasa berada dalam bayang-bayang maut kehancuran semesta, seperti yang diinginkan para literalis biblis fundamentalis Zionis Kristen di USA, yang berpengaruh dalam penentuan kebijakan politik luar negeri USA dan dalam melahirkan fundamentalisme Kristen di mana-mana bak penyakit menular di dunia sekarang ini.
2. Literalisme biblis
Para fundamentalis Kristen, dengan berpijak pada doktrin sesat “inerrancy of the Bible”, menekankan bahwa apa pun yang tertulis dalam Alkitab cukup diterima dengan iman saja, bahwa apa pun yang sudah ditulis di dalamnya adalah kebenaran mutlak yang melampaui segala zaman, berlaku kekal, berwibawa untuk segala tempat dan segala manusia. Alkitab cukup dibaca dan apa yang tertulis di dalamnya cukup diterima dengan penuh kepercayaan sebagai kebenaran absolut.
Dengan literalisme biblis ini sebagai dasarnya, mereka akan menyatakan dengan yakin bahwa Alkitab bisa menjelaskan dirinya sendiri, sehingga tolok ukur kebenaran dan kesahihan Alkitab ditemukan dalam Alkitab sendiri.
Bahwa Alkitab berisi begitu banyak ragam tulisan yang berbeda-beda, yang ditulis di zaman-zaman dan tempat-tempat yang berbeda, oleh manusia-manusia yang berlain-lainan dalam situasi-situasi yang juga berlain-lainan, sehingga untuk memahami Alkitab manusia harus memperhatikan dengan seksama konteks sejarah zaman masing-masing penulisnya, diabaikan begitu saja oleh para penafsir fundamentalis Kristen.
Mereka juga tidak mau tahu, bahwa bukan Alkitab yang bisa menjelaskan dirinya sendiri, melainkan si penafsir Alkitab fundamentalislah yang membuat teks-teks Alkitab berbicara dari sudut tertentu, sesuai dengan doktrin mereka tentang Alkitab (bahwa Alkitab tidak berisi kesalahan atau kekurangan apa pun) atau sesuai dengan doktrin-doktrin keagamaan mereka yang fundamentalis.
Literalisme biblis ini menghasilkan suatu logika beragama yang tidak normal, tidak sehat dan cedera secara epistemologis dan metodologis, sehingga fundamentalisme Kristen telah dan sedang menjelma menjadi suatu ancaman global terhadap logika beragama yang sehat.
3. Bermental triumfalistik ekspansionistik
Para penganut fundamentalisme Kristen memandang versi agama Kristen mereka sebagai versi agama yang paling unggul, paling benar, paling baik, jika dibandingkan dengan agama-agama lain non-Kristen dan versi-versi lain agama Kristen; dan, karena keunggulan ini, mereka memandang versi agama Kristen mereka bagaimana pun juga harus disebarkan ke seluruh tempat di bumi, dengan mengeliminir agama-agama lain non-Kristen dan menjadikan orang-orang non-Kristen bertobat, pindah agama, masuk agama Kristen versi mereka.
Mereka memiliki keyakinan bahwa pada akhirnya di dunia ini hanya akan ada satu agama tunggal yang benar, yang tampil sebagai sang pemenang tunggal, yakni agama Kristen fundamentalis. Mentalitas triumfalistik ekspansionistik ini ditemukan dalam semua orang Kristen injili literalis biblis.
Dengan mentalitas semacam ini, mereka dibentuk untuk menjadi anti-pluralisme religius — suatu perspektif yang menerima dengan terbuka bahwa semua agama lain yang benar adalah juga jalan-jalan menuju beragam bentuk keselamatan manusia dalam dunia ini dan seterusnya.
4. Berkolaborasi dengan kapitalisme Barat
Kalau gerakan-gerakan Islam militan di Indonesia sering dikaitkan dengan kebangunan gerakan-gerakan Islam militan di kawasan Timur Tengah, Asia Tengah dan Asia Selatan yang berpengaruh global, fundamentalisme injili Kristen di Indonesia berafiliasi dengan kapitalisme global yang berpusat di EU dan USA, yang menjadi penyuntik dana besar gerakan-gerakan Kristen Barat yang mempunyai misi ekspansi peradaban Barat antara lain ke Indonesia.
Afiliasi ekonomis dengan kapitalisme Barat memang bukan dibangun oleh kelompok-kelompok religius fundamentalis Kristen saja; kelompok-kelompok non-religius di Indonesia pun, misalnya NGOs, banyak yang hidup dari kucuran dana dari EU dan USA yang kapitalis. PGI pun bahkan bisa hidup hanya karena ada kucuran dana kapitalis Barat. Bahkan, negara NKRI pun tidak bisa lepas dari dominasi dan pendiktean kapitalisme Barat seperti direpresentasikan dalam IMF dan WB.
Namun, hendaknya disadari, sebagian dari kekuatan ekonomi kapitalis USA sudah berada dalam genggaman para tokoh fundamentalis Kristen Amerika (Yahudi dan non-Yahudi), yang, bersama dengan para politikus neo-konservatif, sanggup memengaruhi kebijakan-kebijakan global politik dan militer luar negeri USA, khususnya kebijakan politik USA untuk kawasan Timur Tengah dan negara-negara lain di dunia yang mayoritas rakyatnya beragama Islam.
Arti dari semua ini adalah kekristenan fundamentalis Kristen di Indonesia bukan lagi hanya merupakan suatu gerakan religius, tetapi juga gerakan politik ekonomi kapitalis.
5. Penyusupan ke gereja-gereja arus utama
Gerakan fundamentalisme Kristen di Indonesia berlangsung tidak terbatas hanya di kalangan kelompok-kelompok mereka sendiri (yang terbentuk “inborn” atau melalui “conversion”) sebagai sub-sub kultur atau ghetto-ghetto dalam kultur-kultur yang lebih besar, tetapi juga sudah dan sedang dengan agresif, lihai, tanpa nurani, menyusup ke gereja-gereja arus utama yang anti-fundamentalisme Kristen.
Mereka memakai strategi dan taktik penyebaran secara “diam-diam” (sebagai para gerilyawan religius yang diutus untuk menyusup umumnya ke kalangan muda gereja-gereja arus utama) atau pun secara “terang-terangan” ketika menemukan diri sudah cukup kuat berbasis dan berakar di dalam organisasi-organisasi gereja-gereja arus utama, yakni ketika mereka sudah berhasil menempatkan, atau bersahabat kental dengan, para “pelayan” gereja yang (anehnya) berbalik jadi “fully committed” terhadap gerakan fundamentalisme Kristen dan yang mau menjadi para warriors untuk memperjuangkan perluasan pengaruh kekuasaan dan teritori mereka.
Lalu, di dalam organisasi-organisasi gereja arus utama itu mereka, karena sudah yakin cukup kuat, melakukan kampanye-kampanye dan propaganda-propaganda doktrinal fundamentalis ke kalangan yang lebih umum dan meluas, dan menebar intrik-intrik untuk mengeliminir para gerejawan yang anti-fundamentalisme Kristen.
Politik “devide et impera”, memecah dan/untuk menguasai, mereka kembangkan dalam organisasi-organisasi gereja arus utama untuk mereka dapat semakin luas menguasai daerah jajahan yang tidak sah. Di mana perlu, mereka bisa menjinakkan lawan-lawan ideologis mereka yang bermental lemah, dengan memakai kekuatan kapital mereka. Mereka memiliki sekian pasukan inkwisisi untuk menebar perpecahan di gereja-gereja arus utama.
6. Ketaatan membuta terhadap pemimpin pergerakan
Sebagaimana terjadi dengan semua gerakan subkultur dalam kultur besar masyarakat, organisasi gerakan fundamentalis Kristen ditandai oleh kohesi atau ikatan internal kuat antar anggota pergerakan yang diikat menjadi satu oleh doktrin dan terutama oleh pemimpin pergerakan, yang umumnya adalah satu otoritas tunggal personal yang ditaati dengan membuta oleh semua anggota pergerakan.
Doktrin tertutup wajib dipegang kuat-kuat, tak boleh dipertanyakan, oleh semua anggota pergerakan. Semakin kokoh suatu doktrin dipegang, dan semakin banyak orang yang menerima doktrin mereka, semakin anggota pergerakan yakin akan kebenaran yang mereka pegang, dan ini pada gilirannya memberi semangat luar biasa bagi penyebaran dan ekspansi pergerakan untuk tujuan pengkristenan dunia.
Pengkultusan atas sang pemimpin biasa dijumpai dalam gerakan-gerakan kultural keagamaan semacam ini. Sang pemimpin menjadi penentu doktrin dan strategi perjuangan gerakan, dan juga menjadi satu figur tunggal yang berotoritas memberlakukan disiplin pergerakan beserta hukuman-hukuman yang harus ditanggung oleh anggota pembelot atau pembangkang.
Jika diperlukan, dan sangat jarang, penyesuaian-penyesuaian terhadap doktrin bisa dilakukan dalam konteks masyarakat yang berubah, tapi ini bisa terjadi jika sang pemimpin tunggal yakin telah mendapat mandat ilahi untuk melakukan langkah-langkah ini; dan sekali ini dijalankan, semua anggota pergerakan wajib menaati dan meneruskannya.
Karena itu, paling baik jika sang pemimpin tunggal ini disoroti dengan kritis dari pelbagai sudut jika orang ingin memperlemah sengat dan daya terjang gerakan fundamentalisme religius semacam ini.
7. Narcissisme radikal
Para penganut fundamentalisme Kristen dihinggapi suatu gejala mental eksesif yang biasa disebut “narcissisme radikal”— yakni suatu rasa cinta atau maniak diri yang sangat mendalam dan berlebihan, membuta, baik terhadap apa yang mereka persepsikan sebagai kebenaran diri sendiri maupun terhadap ideologi-ideologi religius, politik, ekonomi dan kebudayaan yang sudah berhasil mereka bangun dan pertahankan.
Dorongan mental narcissistik ini bukan hanya merasuki bangunan ideologis agama mereka sehingga mereka akan mau mati demi doktrin-doktrin “cantik” mereka, tetapi juga merasuk ke dalam alam sadar dan alam bawah sadar mereka, sehingga gejala ini dapat disebut sebagai narcissisme radikal.
Sadar atau dalam alam bawah sadar, mereka memandang diri sebagai laskar-laskar kebenaran ilahi, yang berbeda dari siapapun yang ada dalam dunia ini. Semangat tempur jihadisme sebagai Bible and doctrine warriors selalu membara dalam diri mereka, sehingga tepatlah kalau seorang pakar peneliti gejala fundamentalisme Kristen menyebut para fundamentalis Kristen sebagai “evangelicals in a fighting mood!”
Ketika bercermin di hadapan siapa pun, yang mereka temukan adalah panggilan dan tugas mereka untuk mempertontonkan kecantikan atau ketampanan diri sendiri sebagai orang-orang pilihan ilahi untuk tugas penyelamatan dunia. Segala lini kehidupan siap mereka tempuri.
Narcissisme radikal ini, suatu maniak cinta pada diri dan bangunan agama sendiri, menyebabkan fundamentalisme Kristen kokoh menjadi suatu sistem kepercayaan tertutup (a closed belief system) yang anti pada pembaruan, revisi dan inovasi mendasar, dalam doktrin-doktrin mau pun dalam praktik-praktik beragama.
8. Bervisi apokaliptik sangat politis radikal
Apokaliptisisme biblis adalah sebuah visi tentang Dunia Baru (=Apokalipsis) di masa depan, yang perihal bagaimana bentuknya dan kapan didatangkannya, diyakini telah disingkapkan (penyingkapan = apokalipsis), hitam di atas putih, selengkap-lengkap dan sepersis-persisnya, di dalam Alkitab oleh Allah. Kitab-kitab para nabi, dan sastra-sastra apokaliptis dalam Alkitab (misalnya, bagian-bagian tertentu dari beberapa Kitab Para nabi, lalu Kitab Daniel, Markus 13 dan pars., dan Kitab Wahyu Yohanes), mendapat perhatian khusus untuk dipakai dalam melakukan konstruksi tabel waktu yang berisi petunjuk-petunjuk kapan dunia baru itu akan didatangkan dan peristiwa-peristiwa apa yang akan mendahuluinya.
Umumnya, para penganut apokaliptisisme (di dunia kuno) memandang ke depan, kepada suatu dunia yang sama sekali lain dari dunia yang dikenal, yang akan didatangkan Allah di luar sejarah, dan akan menjadi bagian kawasan yang trans- atau meta-historis.
Biasanya juga, para apokaliptisis kuno memandang dunia masa kini sudah sangat jahat, dikuasai kuasa anti-Allah, kuasa Setan, sehingga mereka akan menjauhi segala aktivitas duniawi (sosial, politik, ekonomi dan kultural) dan menunggu pasif kedatangan Dunia Baru di masa depan, yang diyakini tidak lama lagi akan tiba, di dalam mana kuasa anti-Allah akan dikalahkan oleh Allah sendiri.
Tetapi kalangan fundamentalis Kristen modern (dimulai di Eropa, USA, kemudian juga di Asia) sudah mengubah strategi politik kebudayaan mereka: mereka tetap mempertahankan visi apokaliptis tentang datangnya Dunia Baru di masa depan yang sudah dekat, tetapi mereka melihat adalah tugas mereka di dalam dunia sekarang ini untuk melakukan hal-hal yang diperlukan untuk mempercepat kedatangan Dunia Baru itu.
Karena itu, mereka sangat didorong untuk melibatkan diri dengan efektif, cerdas dan lihai di dalam percaturan politik, ekonomi dan militer dunia, khususnya yang ada kaitan langsung dengan peta perpolitikan dan militerisme di Timur Tengah, dan lebih khusus lagi yang berkenaan langsung dengan pembelaan kepentingan negara Israel modern sebagai sekutu USA.
Lebih jauh lagi, Dunia Baru apokaliptik tidak lagi mereka lihat sebagai suatu entitas di luar sejarah, dunia yang trans-historis, tetapi suatu Dunia Baru yang akan berwujud dalam dunia ini, di bumi ini, Dunia Baru yang akan diperintah oleh sang Messias Yahudi-Kristen Yeshua/Yesus, dengan pusat pemerintahannya di Yerusalem dalam negara Israel modern.
Dalam pandangan orang fundamentalis Kristen, berdirinya Negara Israel modern tahun 1948, dan Perang Enam Hari tahun 1967 yang digelar Israel dengan sukses besar, adalah bagian dari tanda-tanda telah mendekatnya waktu kedatangan Dunia Baru itu. Puncak dari segala peristiwa dunia yang mengawali Apokalipsis, kedatangan Dunia Baru, adalah Perang (Nuklir) Dunia III, Perang Armageddon. Perang maha dahsyat ini, dalam keyakinan para fundamentalis Kristen, harus dipercepat meletusnya, dan ini akan bermula di Timur Tengah, lalu meluas ke seluruh dunia, dan ketika ini terjadi, Messias Yeshua akan datang dan menegakkan pemerintahannya di Yerusalem bumi.
Maka, fundamentalisme Kristen pun kini sedang mengembangkan strategi politik dan kebudayaan dan ekonomi global/worldwide untuk turut mempercepat kemenangan Yeshua atas Setan dan bangsa-bangsa lain yang kafir, sehingga akibatnya akan berdirilah Negara Yahudi-Kristen yang berpusat di Yerusalem/Al Quds, yang menguasai seluruh dunia manusia. Ketika ini terjadi, maka Dunia Baru apokaliptis yang diidam-idamkan itu sudah datang, dan para fundamentalis Kristen bersama Mesias Yeshua akan dengan jaya memerintah Dunia Baru ini.
Orang Kristen fundamentalis di mana pun, yang memandang semua nubuat dalam Alkitab harus dipenuhi secara harfiah, khususnya yang berkaitan dengan nasib bangsa Yahudi (Israel modern), pastilah juga para warriors Kristen yang akan dengan penuh komitmen ikut serta untuk merealisasi nubuat para nabi, yakni kemenangan Israel dan kedatangan kembali Messias Yeshua untuk memerintah dunia.
Perlu diteliti, berapa banyak orang fundamentalis Kristen Indonesia yang sudah dan sedang menerima pendidikan teologi di sekolah-sekolah teologi di USA yang memandang dengan sangat yakin kebenaran dari visi apokaliptisisme Zionis Yahudi-Kristen ini. Visi orang-orang abnormal, yang cedera saraf otaknya, yang lebih menyukai perang sejagat daripada perdamaian semesta.
9. Sangat anti terhadap pendekatan kritis historis terhadap Kitab Suci
Musuh ideologis hermeneutik orang Kristen fundamentalis literalis biblis paling utama dan yang paling mereka benci adalah orang-orang Kristen yang memakai pendekatan kritis-historis terhadap Alkitab.
Pendekatan kritis-historis memandang setiap teks Kitab Suci tidak diilhamkan langsung oleh Allah dan tidak diturunkan langsung dari langit, tetapi lahir dari dalam konteks-konteks sosial-historis dan kultural yang real dari manusia-manusia real yang hidup dulu, dalam zaman masing-masing dan di tempat masing-masing dan yang menghadapi persoalan-persoalan historis yang real dan kongkret.
Karena itu, untuk memahami teks-teks Kitab Suci, para penafsir kritis mengembangkan metode-metode tafsir yang tepat dan memakai peralatan bantu konseptual metodikal untuk bisa masuk ke dalam konteks sejarah kehidupan para penulis teks-teks suci itu. Ilmu-ilmu lain yang bisa membantu, misalnya sosiologi dan antropologi serta arkeologi, dipakai untuk manusia zaman sekarang bisa dengan lebih dapat diandalkan memahami dan mendeskripsikan dunia sosial para penulis teks suci kuno.
Memahami dunia sosial para penulis teks suci adalah syarat utama untuk bisa memahami teks suci, sebab meaning/arti/maksud dari teks suci tidak diberikan oleh langit, melainkan dibentuk dan diberikan oleh kebudayaan dalam dunia sosial si penulis dulu.
Berbenturan dengan perspektif kritis di atas, kalangan fundamentalis Kristen, Bible warriors, tidak memandang asal-usul teks-teks Kitab Suci secara demikian. Bagi mereka, semua teks Kitab Suci 100 persen berasal dari sorga, yang melalui proses pengilhaman mekanik, masuk ke dunia manusia. Bagi mereka, naskah-naskah asli Kitab Suci ada di sorga, di tangan Allah, lalu, melalui mesin mekanik faximili sorga, dikirim ke bumi dan manusia di bumi menerima teks sama persis dengan yang asli yang ada di tangan Allah. Perspektif skriptural fundamentalis semacam ini adalah perspektif anti-sejarah dan, juga, anti-kebudayaan.
Nah, orang Kristen literalis biblis fundamentalis adalah orang-orang yang pada satu pihak mengklaim paling mengerti Kitab Suci dan paling benar memahami pesan dan kewibawaan Kitab Suci, namun, pada pihak lain, ironisnya, mereka adalah orang-orang yang paling keliru memahami Kitab Suci, sebab yang mereka klaim sebagai makna teks Kitab Suci adalah makna teks yang dimungkinkan muncul karena di dalam kepala mereka sudah ada doktrin-doktrin gereja mereka dan pemikiran kultural modern yang kapitalistik.
Di tangan mereka, Alkitab bukan lagi teks suci kuno, tetapi teks suci yang sangat modern. Mereka adalah para penafsir anti-sejarah dan pra-kritikal, sebuah pendekatan yang sangat menyesatkan. Ironinya, di dalam gereja-gereja mereka menghasut bahwa pendekatan kritis historis terhadap Kitab Suci akan menghancurkan iman Kristen.
Itu adalah fitnah murahan, yang sama sekali tidak ada nilainya. Yang dihancurkan pendekatan kritis-historis bukanlah iman Kristen, tetapi agama Kristen fundamentalis literalis biblis. Sebaiknya, warga gereja di mana-mana harus waspada terhadap hermeneutik biblis orang-orang fundamentalis Kristen.
10. Gerakan kebudayaan berbahaya
Orang sering menganggap bahwa fundamentalisme Kristen adalah suatu gerakan religius kultural yang anti-modernitas, karena ingin mengembalikan dunia dan gereja-gereja ke dalam kehidupan dunia zaman kuno, zaman kejayaan para nabi, dan zaman para rasul Kristen di abad-abad perdana dalam sejarah gereja, zaman keemasan bagi karya nyata Roh Kudus. Mereka, dengan demikian, sepertinya adalah gerakan kultural religius yang menentang kemajuan, bergerak ke belakang, mundur ke dalam masa lampau sejarah gereja Kristen.
Tapi, harus dicatat, anggapan dan perspektif ini tidak seluruhnya benar. Gerakan fundamentalisme Kristen adalah gerakan yang sangat modern. Mereka memakai teknologi modern untuk menyebarkan doktrin-doktrin dan visi-visi mereka ke seluruh dunia (via Internet, televisi satelit, televisi cable, dll.). Mereka menerapkan ilmu manajemen modern untuk menggalang dana besar-besaran dan mengurus ekspansionisme gerakan dan organisasi mereka.
Mereka mempelajari dan menerapkan insights yang diperoleh dari kajian-kajian modern antropologi sosio-budaya untuk bisa masuk dan beradaptasi dengan suku-suku asing dan terasing di dunia bangsa-bangsa untuk keperluan pengkristenan dalam program sedunia “evangelism explosion” mereka.
Mereka mempelajari peta perpolitikan, ekonomi dan bahasa-bahasa setempat dari negara-negara yang mereka sudah masukkan ke dalam daftar kawasan-kawasan pengkristenan global. Mereka melatih dengan metode-metode modern para “gerilyawan” mereka dengan ketrampilan-ketrampilan praktis efektif untuk bisa masuk ke kawasan-kawasan “lawan” yang sedang menjadi target misi proselitisme mereka.
Mereka mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan modern untuk bisa berpolemik mempertahankan “keilmiahan” teks-teks Alkitab; dsb.
Semua langkah mereka itu menunjukkan mereka adalah organisasi modern yang dikelola dengan profesional modern, dengan tujuan-tujuan yang ingin dicapai melalui sarana-sarana modern.
Tetapi pada pihak lain, gerakan kebudayaan kekristenan fundamentalis ini, pada intinya, adalah gerakan kultural berbahaya dan destruktif, karena mereka, pada pihak lain, anti nilai-nilai modern: demokrasi, pluralisme, sekularisme, liberalisme, persamaan hak-hak gender pria dan wanita, sosialisme ekonomi, gerakan civil society, kebebasan individual, pencerahan akal budi, sains evolusi, toleransi, spiritualitas nonreligius, dll.
Dalam semangat anti-modernisme ini, mereka mengembangkan wacana-wacana polemis pseudo- atau non-ilmiah untuk menunjukkan bahwa ide-ide mereka (dalam pikiran dan keyakinan mereka) adalah alternatif-alternatif yang lebih religius dan lebih ilmiah dan lebih biblis.
Misalnya, sebagai ganti ilmu fisika, astronomi, astrofisika dan kosmologi modern mereka mempromosikan kreasionisme dangkal pseudo-sains dan agama Bumi Datar. Sebagai ganti teori evolusi mereka mengembangkan doktrin Intelligent Design. Sebagai ganti pluralisme religius dan toleransi mereka memperjuangkan dan berkampanye bahwa hanya ada satu agama yang benar, agama Yesus Kristus versi mereka.
Sebagai ganti teologi agama-agama mereka mengembangkan apologetika terhadap agama-agama lain. Sebagai ganti dialog antar agama mereka mengembangkan proklamasi Kristen yang menuntut pertobatan manusia masuk Kristen bila manusia tidak ingin masuk neraka; dlsb.
Jelas, fundamentalisme Kristen adalah gerakan kultural sangat berbahaya yang harus dicegah dan dieliminir daya sengatnya oleh orang beragama Kristen yang masih berhatinurani bersih, yang masih eling, yang jumlahnya masih sangat banyak. Lewat dialog terus-menerus, dan penyadaran serta pencerdasan masyarakat dan warga gereja-gereja.
Semoga bermanfaat.
ioanes rakhmat at 3:00:00 AM