25 Agustus, 2021

FUNDAMENTALISME KRISTEN

FUNDAMENTALISME KRISTEN

Ciri-ciri Fundamentalisme Kristen

Oleh

Ioanes Rakhmat


1. Mempertuhan Alkitab

Bagi para penganut fundamentalisme Kristen, Alkitab menjadi Allah keempat, di samping tiga Allah dalam doktrin tritunggal, dengan memahkotai Alkitab dengan mahkota doktrin khayalan penuh takhayul “inerrancy of the Bible”. Doktrin ini menyatakan bahwa apa pun yang dimuat dalam Alkitab, tidak bisa salah dan tidak memiliki kekurangan atau keterbatasan dalam hal apa pun dan harus dilaksanakan kapan pun dan oleh siapa pun. 

Dus, doktrin ini bahkan menempatkan Alkitab lebih tinggi dari Allah sendiri, sebab hanya Allah saja yang bisa dipandang tidak bisa salah. (Sebetulnya, Allah malah juga bisa “salah”, yakni ketika suatu teologi [= iman atau ajaran ttg Allah] sudah tidak relevan lagi, sehingga konsep insani tentang Allah yang sudah tidak relevan itu harus direvisi). Dengan posisi semacam ini, para fundamentalis Kristen telah melanggar perintah, “Jangan ada ilah lain di hadapan Allah YME!” 

Jika seluruh pesan dalam Alkitab dilaksanakan letterlijk, harfiah, dalam dunia kita sekarang ini, maka, mengingat Alkitab juga memuat pesan-pesan kekerasan, dunia akan senantiasa berada dalam bayang-bayang maut kehancuran semesta, seperti yang diinginkan para literalis biblis fundamentalis Zionis Kristen di USA, yang berpengaruh dalam penentuan kebijakan politik luar negeri USA dan dalam melahirkan fundamentalisme Kristen di mana-mana bak penyakit menular di dunia sekarang ini.


2. Literalisme biblis

Para fundamentalis Kristen, dengan berpijak pada doktrin sesat “inerrancy of the Bible”, menekankan bahwa apa pun yang tertulis dalam Alkitab cukup diterima dengan iman saja, bahwa apa pun yang sudah ditulis di dalamnya adalah kebenaran mutlak yang melampaui segala zaman, berlaku kekal, berwibawa untuk segala tempat dan segala manusia. Alkitab cukup dibaca dan apa yang tertulis di dalamnya cukup diterima dengan penuh kepercayaan sebagai kebenaran absolut. 

Dengan literalisme biblis ini sebagai dasarnya, mereka akan menyatakan dengan yakin bahwa Alkitab bisa menjelaskan dirinya sendiri, sehingga tolok ukur kebenaran dan kesahihan Alkitab ditemukan dalam Alkitab sendiri. 

Bahwa Alkitab berisi begitu banyak ragam tulisan yang berbeda-beda, yang ditulis di zaman-zaman dan tempat-tempat yang berbeda, oleh manusia-manusia yang berlain-lainan dalam situasi-situasi yang juga berlain-lainan, sehingga untuk memahami Alkitab manusia harus memperhatikan dengan seksama konteks sejarah zaman masing-masing penulisnya, diabaikan begitu saja oleh para penafsir fundamentalis Kristen. 

Mereka juga tidak mau tahu, bahwa bukan Alkitab yang bisa menjelaskan dirinya sendiri, melainkan si penafsir Alkitab fundamentalislah yang membuat teks-teks Alkitab berbicara dari sudut tertentu, sesuai dengan doktrin mereka tentang Alkitab (bahwa Alkitab tidak berisi kesalahan atau kekurangan apa pun) atau sesuai dengan doktrin-doktrin keagamaan mereka yang fundamentalis. 

Literalisme biblis ini menghasilkan suatu logika beragama yang tidak normal, tidak sehat dan cedera secara epistemologis dan metodologis, sehingga fundamentalisme Kristen telah dan sedang menjelma menjadi suatu ancaman global terhadap logika beragama yang sehat.

3. Bermental triumfalistik ekspansionistik

Para penganut fundamentalisme Kristen memandang versi agama Kristen mereka sebagai versi agama yang paling unggul, paling benar, paling baik, jika dibandingkan dengan agama-agama lain non-Kristen dan versi-versi lain agama Kristen; dan, karena keunggulan ini, mereka memandang versi agama Kristen mereka bagaimana pun juga harus disebarkan ke seluruh tempat di bumi, dengan mengeliminir agama-agama lain non-Kristen dan menjadikan orang-orang non-Kristen bertobat, pindah agama, masuk agama Kristen versi mereka. 

Mereka memiliki keyakinan bahwa pada akhirnya di dunia ini hanya akan ada satu agama tunggal yang benar, yang tampil sebagai sang pemenang tunggal, yakni agama Kristen fundamentalis. Mentalitas triumfalistik ekspansionistik ini ditemukan dalam semua orang Kristen injili literalis biblis. 

Dengan mentalitas semacam ini, mereka dibentuk untuk menjadi anti-pluralisme religius — suatu perspektif yang menerima dengan terbuka bahwa semua agama lain yang benar adalah juga jalan-jalan menuju beragam bentuk keselamatan manusia dalam dunia ini dan seterusnya.

4. Berkolaborasi dengan kapitalisme Barat

Kalau gerakan-gerakan Islam militan di Indonesia sering dikaitkan dengan kebangunan gerakan-gerakan Islam militan di kawasan Timur Tengah, Asia Tengah dan Asia Selatan yang berpengaruh global, fundamentalisme injili Kristen di Indonesia berafiliasi dengan kapitalisme global yang berpusat di EU dan USA, yang menjadi penyuntik dana besar gerakan-gerakan Kristen Barat yang mempunyai misi ekspansi peradaban Barat antara lain ke Indonesia. 

Afiliasi ekonomis dengan kapitalisme Barat memang bukan dibangun oleh kelompok-kelompok religius fundamentalis Kristen saja; kelompok-kelompok non-religius di Indonesia pun, misalnya NGOs, banyak yang hidup dari kucuran dana dari EU dan USA yang kapitalis. PGI pun bahkan bisa hidup hanya karena ada kucuran dana kapitalis Barat. Bahkan, negara NKRI pun tidak bisa lepas dari dominasi dan pendiktean kapitalisme Barat seperti direpresentasikan dalam IMF dan WB. 

Namun, hendaknya disadari, sebagian dari kekuatan ekonomi kapitalis USA sudah berada dalam genggaman para tokoh fundamentalis Kristen Amerika (Yahudi dan non-Yahudi), yang, bersama dengan para politikus neo-konservatif, sanggup memengaruhi kebijakan-kebijakan global politik dan militer luar negeri USA, khususnya kebijakan politik USA untuk kawasan Timur Tengah dan negara-negara lain di dunia yang mayoritas rakyatnya beragama Islam. 

Arti dari semua ini adalah kekristenan fundamentalis Kristen di Indonesia bukan lagi hanya merupakan suatu gerakan religius, tetapi juga gerakan politik ekonomi kapitalis.

5. Penyusupan ke gereja-gereja arus utama

Gerakan fundamentalisme Kristen di Indonesia berlangsung tidak terbatas hanya di kalangan kelompok-kelompok mereka sendiri (yang terbentuk “inborn” atau melalui “conversion”) sebagai sub-sub kultur atau ghetto-ghetto dalam kultur-kultur yang lebih besar, tetapi juga sudah dan sedang dengan agresif, lihai, tanpa nurani, menyusup ke gereja-gereja arus utama yang anti-fundamentalisme Kristen. 

Mereka memakai strategi dan taktik penyebaran secara “diam-diam” (sebagai para gerilyawan religius yang diutus untuk menyusup umumnya ke kalangan muda gereja-gereja arus utama) atau pun secara “terang-terangan” ketika menemukan diri sudah cukup kuat berbasis dan berakar di dalam organisasi-organisasi gereja-gereja arus utama, yakni ketika mereka sudah berhasil menempatkan, atau bersahabat kental dengan, para “pelayan” gereja yang (anehnya) berbalik jadi “fully committed” terhadap gerakan fundamentalisme Kristen dan yang mau menjadi para warriors untuk memperjuangkan perluasan pengaruh kekuasaan dan teritori mereka. 

Lalu, di dalam organisasi-organisasi gereja arus utama itu mereka, karena sudah yakin cukup kuat, melakukan kampanye-kampanye dan propaganda-propaganda doktrinal fundamentalis ke kalangan yang lebih umum dan meluas, dan menebar intrik-intrik untuk mengeliminir para gerejawan yang anti-fundamentalisme Kristen. 

Politik “devide et impera”, memecah dan/untuk menguasai, mereka kembangkan dalam organisasi-organisasi gereja arus utama untuk mereka dapat semakin luas menguasai daerah jajahan yang tidak sah. Di mana perlu, mereka bisa menjinakkan lawan-lawan ideologis mereka yang bermental lemah, dengan memakai kekuatan kapital mereka. Mereka memiliki sekian pasukan inkwisisi untuk menebar perpecahan di gereja-gereja arus utama.

6. Ketaatan membuta terhadap pemimpin pergerakan

Sebagaimana terjadi dengan semua gerakan subkultur dalam kultur besar masyarakat, organisasi gerakan fundamentalis Kristen ditandai oleh kohesi atau ikatan internal kuat antar anggota pergerakan yang diikat menjadi satu oleh doktrin dan terutama oleh pemimpin pergerakan, yang umumnya adalah satu otoritas tunggal personal yang ditaati dengan membuta oleh semua anggota pergerakan. 

Doktrin tertutup wajib dipegang kuat-kuat, tak boleh dipertanyakan, oleh semua anggota pergerakan. Semakin kokoh suatu doktrin dipegang, dan semakin banyak orang yang menerima doktrin mereka, semakin anggota pergerakan yakin akan kebenaran yang mereka pegang, dan ini pada gilirannya memberi semangat luar biasa bagi penyebaran dan ekspansi pergerakan untuk tujuan pengkristenan dunia. 

Pengkultusan atas sang pemimpin biasa dijumpai dalam gerakan-gerakan kultural keagamaan semacam ini. Sang pemimpin menjadi penentu doktrin dan strategi perjuangan gerakan, dan juga menjadi satu figur tunggal yang berotoritas memberlakukan disiplin pergerakan beserta hukuman-hukuman yang harus ditanggung oleh anggota pembelot atau pembangkang. 

Jika diperlukan, dan sangat jarang, penyesuaian-penyesuaian terhadap doktrin bisa dilakukan dalam konteks masyarakat yang berubah, tapi ini bisa terjadi jika sang pemimpin tunggal yakin telah mendapat mandat ilahi untuk melakukan langkah-langkah ini; dan sekali ini dijalankan, semua anggota pergerakan wajib menaati dan meneruskannya. 

Karena itu, paling baik jika sang pemimpin tunggal ini disoroti dengan kritis dari pelbagai sudut jika orang ingin memperlemah sengat dan daya terjang gerakan fundamentalisme religius semacam ini.

7. Narcissisme radikal

Para penganut fundamentalisme Kristen dihinggapi suatu gejala mental eksesif yang biasa disebut “narcissisme radikal”— yakni suatu rasa cinta atau maniak diri yang sangat mendalam dan berlebihan, membuta, baik terhadap apa yang mereka persepsikan sebagai kebenaran diri sendiri maupun terhadap ideologi-ideologi religius, politik, ekonomi dan kebudayaan yang sudah berhasil mereka bangun dan pertahankan. 

Dorongan mental narcissistik ini bukan hanya merasuki bangunan ideologis agama mereka sehingga mereka akan mau mati demi doktrin-doktrin “cantik” mereka, tetapi juga merasuk ke dalam alam sadar dan alam bawah sadar mereka, sehingga gejala ini dapat disebut sebagai narcissisme radikal. 

Sadar atau dalam alam bawah sadar, mereka memandang diri sebagai laskar-laskar kebenaran ilahi, yang berbeda dari siapapun yang ada dalam dunia ini. Semangat tempur jihadisme sebagai Bible and doctrine warriors selalu membara dalam diri mereka, sehingga tepatlah kalau seorang pakar peneliti gejala fundamentalisme Kristen menyebut para fundamentalis Kristen sebagai “evangelicals in a fighting mood!” 

Ketika bercermin di hadapan siapa pun, yang mereka temukan adalah panggilan dan tugas mereka untuk mempertontonkan kecantikan atau ketampanan diri sendiri sebagai orang-orang pilihan ilahi untuk tugas penyelamatan dunia. Segala lini kehidupan siap mereka tempuri. 

Narcissisme radikal ini, suatu maniak cinta pada diri dan bangunan agama sendiri, menyebabkan fundamentalisme Kristen kokoh menjadi suatu sistem kepercayaan tertutup (a closed belief system) yang anti pada pembaruan, revisi dan inovasi mendasar, dalam doktrin-doktrin mau pun dalam praktik-praktik beragama.

8. Bervisi apokaliptik sangat politis radikal

Apokaliptisisme biblis adalah sebuah visi tentang Dunia Baru (=Apokalipsis) di masa depan, yang perihal bagaimana bentuknya dan kapan didatangkannya, diyakini telah disingkapkan (penyingkapan = apokalipsis), hitam di atas putih, selengkap-lengkap dan sepersis-persisnya, di dalam Alkitab oleh Allah. Kitab-kitab para nabi, dan sastra-sastra apokaliptis dalam Alkitab (misalnya, bagian-bagian tertentu dari beberapa Kitab Para nabi, lalu Kitab Daniel, Markus 13 dan pars., dan Kitab Wahyu Yohanes), mendapat perhatian khusus untuk dipakai dalam melakukan konstruksi tabel waktu yang berisi petunjuk-petunjuk kapan dunia baru itu akan didatangkan dan peristiwa-peristiwa apa yang akan mendahuluinya. 

Umumnya, para penganut apokaliptisisme (di dunia kuno) memandang ke depan, kepada suatu dunia yang sama sekali lain dari dunia yang dikenal, yang akan didatangkan Allah di luar sejarah, dan akan menjadi bagian kawasan yang trans- atau meta-historis. 

Biasanya juga, para apokaliptisis kuno memandang dunia masa kini sudah sangat jahat, dikuasai kuasa anti-Allah, kuasa Setan, sehingga mereka akan menjauhi segala aktivitas duniawi (sosial, politik, ekonomi dan kultural) dan menunggu pasif kedatangan Dunia Baru di masa depan, yang diyakini tidak lama lagi akan tiba, di dalam mana kuasa anti-Allah akan dikalahkan oleh Allah sendiri.

Tetapi kalangan fundamentalis Kristen modern (dimulai di Eropa, USA, kemudian juga di Asia) sudah mengubah strategi politik kebudayaan mereka: mereka tetap mempertahankan visi apokaliptis tentang datangnya Dunia Baru di masa depan yang sudah dekat, tetapi mereka melihat adalah tugas mereka di dalam dunia sekarang ini untuk melakukan hal-hal yang diperlukan untuk mempercepat kedatangan Dunia Baru itu. 

Karena itu, mereka sangat didorong untuk melibatkan diri dengan efektif, cerdas dan lihai di dalam percaturan politik, ekonomi dan militer dunia, khususnya yang ada kaitan langsung dengan peta perpolitikan dan militerisme di Timur Tengah, dan lebih khusus lagi yang berkenaan langsung dengan pembelaan kepentingan negara Israel modern sebagai sekutu USA. 

Lebih jauh lagi, Dunia Baru apokaliptik tidak lagi mereka lihat sebagai suatu entitas di luar sejarah, dunia yang trans-historis, tetapi suatu Dunia Baru yang akan berwujud dalam dunia ini, di bumi ini, Dunia Baru yang akan diperintah oleh sang Messias Yahudi-Kristen Yeshua/Yesus, dengan pusat pemerintahannya di Yerusalem dalam negara Israel modern.

Dalam pandangan orang fundamentalis Kristen, berdirinya Negara Israel modern tahun 1948, dan Perang Enam Hari tahun 1967 yang digelar Israel dengan sukses besar, adalah bagian dari tanda-tanda telah mendekatnya waktu kedatangan Dunia Baru itu. Puncak dari segala peristiwa dunia yang mengawali Apokalipsis, kedatangan Dunia Baru, adalah Perang (Nuklir) Dunia III, Perang Armageddon. Perang maha dahsyat ini, dalam keyakinan para fundamentalis Kristen, harus dipercepat meletusnya, dan ini akan bermula di Timur Tengah, lalu meluas ke seluruh dunia, dan ketika ini terjadi, Messias Yeshua akan datang dan menegakkan pemerintahannya di Yerusalem bumi. 

Maka, fundamentalisme Kristen pun kini sedang mengembangkan strategi politik dan kebudayaan dan ekonomi global/worldwide untuk turut mempercepat kemenangan Yeshua atas Setan dan bangsa-bangsa lain yang kafir, sehingga akibatnya akan berdirilah Negara Yahudi-Kristen yang berpusat di Yerusalem/Al Quds, yang menguasai seluruh dunia manusia. Ketika ini terjadi, maka Dunia Baru apokaliptis yang diidam-idamkan itu sudah datang, dan para fundamentalis Kristen bersama Mesias Yeshua akan dengan jaya memerintah Dunia Baru ini.

Orang Kristen fundamentalis di mana pun, yang memandang semua nubuat dalam Alkitab harus dipenuhi secara harfiah, khususnya yang berkaitan dengan nasib bangsa Yahudi (Israel modern), pastilah juga para warriors Kristen yang akan dengan penuh komitmen ikut serta untuk merealisasi nubuat para nabi, yakni kemenangan Israel dan kedatangan kembali Messias Yeshua untuk memerintah dunia. 

Perlu diteliti, berapa banyak orang fundamentalis Kristen Indonesia yang sudah dan sedang menerima pendidikan teologi di sekolah-sekolah teologi di USA yang memandang dengan sangat yakin kebenaran dari visi apokaliptisisme Zionis Yahudi-Kristen ini. Visi orang-orang abnormal, yang cedera saraf otaknya, yang lebih menyukai perang sejagat daripada perdamaian semesta.

9. Sangat anti terhadap pendekatan kritis historis terhadap Kitab Suci

Musuh ideologis hermeneutik orang Kristen fundamentalis literalis biblis paling utama dan yang paling mereka benci adalah orang-orang Kristen yang memakai pendekatan kritis-historis terhadap Alkitab. 

Pendekatan kritis-historis memandang setiap teks Kitab Suci tidak diilhamkan langsung oleh Allah dan tidak diturunkan langsung dari langit, tetapi lahir dari dalam konteks-konteks sosial-historis dan kultural yang real dari manusia-manusia real yang hidup dulu, dalam zaman masing-masing dan di tempat masing-masing dan yang menghadapi persoalan-persoalan historis yang real dan kongkret. 

Karena itu, untuk memahami teks-teks Kitab Suci, para penafsir kritis mengembangkan metode-metode tafsir yang tepat dan memakai peralatan bantu konseptual metodikal untuk bisa masuk ke dalam konteks sejarah kehidupan para penulis teks-teks suci itu. Ilmu-ilmu lain yang bisa membantu, misalnya sosiologi dan antropologi serta arkeologi, dipakai untuk manusia zaman sekarang bisa dengan lebih dapat diandalkan memahami dan mendeskripsikan dunia sosial para penulis teks suci kuno. 

Memahami dunia sosial para penulis teks suci adalah syarat utama untuk bisa memahami teks suci, sebab meaning/arti/maksud dari teks suci tidak diberikan oleh langit, melainkan dibentuk dan diberikan oleh kebudayaan dalam dunia sosial si penulis dulu.

Berbenturan dengan perspektif kritis di atas, kalangan fundamentalis Kristen, Bible warriors, tidak memandang asal-usul teks-teks Kitab Suci secara demikian. Bagi mereka, semua teks Kitab Suci 100 persen berasal dari sorga, yang melalui proses pengilhaman mekanik, masuk ke dunia manusia. Bagi mereka, naskah-naskah asli Kitab Suci ada di sorga, di tangan Allah, lalu, melalui mesin mekanik faximili sorga, dikirim ke bumi dan manusia di bumi menerima teks sama persis dengan yang asli yang ada di tangan Allah. Perspektif skriptural fundamentalis semacam ini adalah perspektif anti-sejarah dan, juga, anti-kebudayaan.

Nah, orang Kristen literalis biblis fundamentalis adalah orang-orang yang pada satu pihak mengklaim paling mengerti Kitab Suci dan paling benar memahami pesan dan kewibawaan Kitab Suci, namun, pada pihak lain, ironisnya, mereka adalah orang-orang yang paling keliru memahami Kitab Suci, sebab yang mereka klaim sebagai makna teks Kitab Suci adalah makna teks yang dimungkinkan muncul karena di dalam kepala mereka sudah ada doktrin-doktrin gereja mereka dan pemikiran kultural modern yang kapitalistik. 

Di tangan mereka, Alkitab bukan lagi teks suci kuno, tetapi teks suci yang sangat modern. Mereka adalah para penafsir anti-sejarah dan pra-kritikal, sebuah pendekatan yang sangat menyesatkan. Ironinya, di dalam gereja-gereja mereka menghasut bahwa pendekatan kritis historis terhadap Kitab Suci akan menghancurkan iman Kristen. 

Itu adalah fitnah murahan, yang sama sekali tidak ada nilainya. Yang dihancurkan pendekatan kritis-historis bukanlah iman Kristen, tetapi agama Kristen fundamentalis literalis biblis. Sebaiknya, warga gereja di mana-mana harus waspada terhadap hermeneutik biblis orang-orang fundamentalis Kristen.

10. Gerakan kebudayaan berbahaya

Orang sering menganggap bahwa fundamentalisme Kristen adalah suatu gerakan religius kultural yang anti-modernitas, karena ingin mengembalikan dunia dan gereja-gereja ke dalam kehidupan dunia zaman kuno, zaman kejayaan para nabi, dan zaman para rasul Kristen di abad-abad perdana dalam sejarah gereja, zaman keemasan bagi karya nyata Roh Kudus. Mereka, dengan demikian, sepertinya adalah gerakan kultural religius yang menentang kemajuan, bergerak ke belakang, mundur ke dalam masa lampau sejarah gereja Kristen.

Tapi, harus dicatat, anggapan dan perspektif ini tidak seluruhnya benar. Gerakan fundamentalisme Kristen adalah gerakan yang sangat modern. Mereka memakai teknologi modern untuk menyebarkan doktrin-doktrin dan visi-visi mereka ke seluruh dunia (via Internet, televisi satelit, televisi cable, dll.). Mereka menerapkan ilmu manajemen modern untuk menggalang dana besar-besaran dan mengurus ekspansionisme gerakan dan organisasi mereka. 

Mereka mempelajari dan menerapkan insights yang diperoleh dari kajian-kajian modern antropologi sosio-budaya untuk bisa masuk dan beradaptasi dengan suku-suku asing dan terasing di dunia bangsa-bangsa untuk keperluan pengkristenan dalam program sedunia “evangelism explosion” mereka.

Mereka mempelajari peta perpolitikan, ekonomi dan bahasa-bahasa setempat dari negara-negara yang mereka sudah masukkan ke dalam daftar kawasan-kawasan pengkristenan global. Mereka melatih dengan metode-metode modern para “gerilyawan” mereka dengan ketrampilan-ketrampilan praktis efektif untuk bisa masuk ke kawasan-kawasan “lawan” yang sedang menjadi target misi proselitisme mereka. 

Mereka mempelajari ilmu-ilmu pengetahuan modern untuk bisa berpolemik mempertahankan “keilmiahan” teks-teks Alkitab; dsb. 

Semua langkah mereka itu menunjukkan mereka adalah organisasi modern yang dikelola dengan profesional modern, dengan tujuan-tujuan yang ingin dicapai melalui sarana-sarana modern.

Tetapi pada pihak lain, gerakan kebudayaan kekristenan fundamentalis ini, pada intinya, adalah gerakan kultural berbahaya dan destruktif, karena mereka, pada pihak lain, anti nilai-nilai modern: demokrasi, pluralisme, sekularisme, liberalisme, persamaan hak-hak gender pria dan wanita, sosialisme ekonomi, gerakan civil society, kebebasan individual, pencerahan akal budi, sains evolusi, toleransi, spiritualitas nonreligius, dll. 

Dalam semangat anti-modernisme ini, mereka mengembangkan wacana-wacana polemis pseudo- atau non-ilmiah untuk menunjukkan bahwa ide-ide mereka (dalam pikiran dan keyakinan mereka) adalah alternatif-alternatif yang lebih religius dan lebih ilmiah dan lebih biblis. 

Misalnya, sebagai ganti ilmu fisika, astronomi, astrofisika dan kosmologi modern mereka mempromosikan kreasionisme dangkal pseudo-sains dan agama Bumi Datar. Sebagai ganti teori evolusi mereka mengembangkan doktrin Intelligent Design. Sebagai ganti pluralisme religius dan toleransi mereka memperjuangkan dan berkampanye bahwa hanya ada satu agama yang benar, agama Yesus Kristus versi mereka. 

Sebagai ganti teologi agama-agama mereka mengembangkan apologetika terhadap agama-agama lain. Sebagai ganti dialog antar agama mereka mengembangkan proklamasi Kristen yang menuntut pertobatan manusia masuk Kristen bila manusia tidak ingin masuk neraka; dlsb.

Jelas, fundamentalisme Kristen adalah gerakan kultural sangat berbahaya yang harus dicegah dan dieliminir daya sengatnya oleh orang beragama Kristen yang masih berhatinurani bersih, yang masih eling, yang jumlahnya masih sangat banyak. Lewat dialog terus-menerus, dan penyadaran serta pencerdasan masyarakat dan warga gereja-gereja.

Semoga bermanfaat.


ioanes rakhmat at 3:00:00 AM

Minuman Panas, Menyegarkan Tubuh

Menonton atau Mengikuti Ibadah dan Perayaan Virtual?

 




Jika, kita, anda dan saya, (harus) dibatasi (dan terbatas) ketika melakukan Ibadah secara Virtual (dan mengikutinya dari/dan di rumah masing-masing); maka kegiatan tersebut adalah Menonton atau Ikut/Mengikuti Ibadah? Pada sikon Virtual, coba perhatikan apa-apa yang dilakukan atau terjadi selama ini, menonton atau mengikuti ibadah, termasuk perayaan-perayaan keagamaan.


Menonton Ibadah/Kebaktian.

Umat, mungkin juga anda dan saya,

(i) mengakses 'Live Straming' yang dipancarkan dari Tempat Ibadah,

(ii) umat menonton melalui TV, YouTube atau pun FB,

(iii) dan mereka, umat, lakukan itu dengan/dalam keadaan sibuk, tanpa meninggalkan kegiatan seharian,

(iv) dengan pakaian rumah, ngobrol, bahkan sibuk dengan kegiatan lainnya.

Jika sikon seperti itu, maka, bisa disebut, umat tidak mengikuti ibadah/kebaktian Virtual, namun hanya menonton acara yang disuguhkan media. Dengan itu, umat 'tidak mendapatkan apa-apa' dari apa-apa yang ia lihat dan dengar. Ia, mereka, hanya mendapat hiburan yang disuguhkan media, bukan pesan-pesan rohani yang untuk menguatkan kerohanian dirinya. Padahal, 'Live Streaming' tersebut sengaja dipancarkan dalam rangka bina iman, serta 'memindahkan' suasana Ibadah di Gedung ke ruang-ruang keluarga umat.

 


Mengikuti Ibadah Virtual


Umat, atau siapa pun dia, bukan sekedar melihat sepintas atau menonton acara di TV maupun Gadget; namun mereka mengikutinya dengan khusuk. Itu, bermakna, katakanlah, mereka sementara duduk di ruang keluarga,

(i) umat ikuti dari awal ibadah/kebaktian,

(ii) dengan kostum/pakaian yang dipakai untuk ibadah,

(iii) mengikuti semua semua prosesi, misalnya, berdiri, duduk, bernyanyi, tepuk tangan, tunduk kepala, dan lain sebagainya,

(iv) termasuk membuka dan membaca teks Kitab Suci,

(v) memperhatikan, mendengar, mengikuti ceramah atau khotbah,

(vi) tidak bising atau pun ngobrol sana-sini.


Jadi? Yang terjadi atau berlangsung adalah umat melaksanakan ibadah, dan juga perayaan, di ruang-ruang pribadi, rumah, dan bersama segenap anggota keluaga; kira-kira sama dengan ketika mengikuti kebaktian di tenda besar melalui tv monitor, ketika ruang tempat ibadah penuh sesak. Tapi, kini 'tv monitornya' adalah Medsos, katakannya FB, Zoom, dan YouTube.


Dengan Tertib (mengikuti) Ibadah seperti itu, maka akan bertemu atau tercipta suasana spiritual, keceriaan, kesyahduhan, di rumah, bersama segenap anggota keluarga, teman, dan sanak family lainya, jika mereka sementara ada di tempat tersebut.

 

Oleh Opa Jappy | Indonesia Today

3 Menit Membuat Relaksasi dan Konsentrasi

5 Menit Relaksasi, di Jenjang Malam, Musik Pantai

Epidemik Covid-19 Bakalan Jadi "Sillent Killer" di Indonesia

 






Pesawaran, Lampung |  Mari sejenak menuju 11 Maret 2020. Ketika itu, World Health Organization (WHO) menyatakan, "COVID-19 sebagai Pandemi Global."  Itu bermakna, infeksi atau pun penyakit (baru dan penyakit lama pada tubuh) yang muncul (dan parah, serta semakin parah) akibat terserah Covid-19 tersebar luas di seluruh Dunia.

Sehingga, sebut saja Covid-19, bisa menyerang semua orang,  semua srata, menembus segenap lapisan, komunitas dan masyarakat di seluruh Dunia. Faktanya,

Pertama, sejak Maret 2020, hingga sekarang  mereka atau terserang Covid-19 mengalami sejumlah penderitaan (karena sakit baru atau pun lama dalam tubuh) yang berujung pada kesembuhan atau pun kematian.

Kedua, Covid-19 mudah menyerang (tertular, dan semakin berbahaya) pada mereka yang sistem imunnya tak memadai, mengidap berbagai penyakit (terutama paru-paru, diabetes, jantung), dan berdekatan dengan pembawa virus (sering disebut OTG).

Ketiga, jika seseorang terserang Covid-19, maka yang terjadi adalah

Gagal Bernapas. Covid-19 menyerang sistem pernapasan, terutama paru-paru; terjadi komplikasi gagal napas ringan hingga akut. Sebab, paru-paru tidak bisa memompa cukup oksigen ke dalam darah atau tak dapat mengeluarkan cukup karbon dioksida.

Selanjutnya, terjadi Sindrom Pernapasan Akut. Paru-paru semakin rusak dan fungsinya menurun hingga sama tak berfungsi (jika ini yang terjadi, maka hanya ada satu peluang yaitu Hidup Damai atau Rest In Peace di Dunia Lain)

Pneumonia. Kantong udara di paru-paru meradang sehingga susah bernapas; jika sudah parah ada banyak cairan dan nanah di dalam paru-paru.

Menderita Sakit Jantung Akut; termasuk memicu perkembangan penyakit jantung (hingga semakin parah) yang sebelumnya sudah ada pada tubuh.

Tubuh salah (dan tak mampu serta gagal) bereaksi terhadap infeksi atau sepsi. Zat kimia yang dilepaskan ke aliran darah untuk melawan penyakit tidak memicu respons yang tepat, tapi membuat organ rusak. Jika proses ini tidak ditangani, maka terjadi penurunan tekanan darah, dan akhirnya RIP.

Mari, lanjutkan baca.


Saat ini, di mana-mana, semua Negara di Dunia, sudah (mulai) berhasil melawan dan menjinakkan Covid-19. Katakanlah, akibat (i) penanganan yang cepat (dan intensif) pada  penderita, (ii) menemukan obat, (iii) disiplin lakukan protokol kesehatan dan varian-variannya, serta (iv) Vaksinasi Anti Covid-19 atau VAC.

Sayangnya, dari semuanya itu, ada WNI yang tak peduli dan masa bodo, terutama (iii, tak mau ikuti) dan (iv, menolak VAC). Masa Bodo dan Penolakan ini, bisa berdampak fatal pada Komunitas, Masyarakat, bahkan Rakyat pada suatu Negara.

Atau, sebaliknya. Muncul atau ada area, daerah, wilayah tertentu, yang tetap menjadi 'Kekuasaan Covid-19.' COVID-19 tak pernah hilang dari area tersebut, dan terus menerus secara TSM menyerang semua orang, hingga  seluruhnya terpapar, dan satu demi satu menuju ke Dunia Lain; dan Rest In Peace di tempat itu.

Akibat lain dari, 'ada WNI yang tak peduli dan masa bodo, terutama (iii, tak mau ikuti) dan (iv, menolak VAC). Masa Bodo dan Penolakan ini, bisa berdampak fatal pada Komunitas, Masyarakat, bahkan Rakyat pada suatu Negara,' adalah COVID-19 sebagai Penyakit Endemik.

Menolak Lupa

Endemi. Endemi adalah penyakit yang muncul (dan tetap ada) serta menjadi karakteristik di wilayah tertentu. Misalnya, Malaria dan Demam Berdarah Dengue selalu ada di daerah tertentu karena 'dukungan alam yang panas, rawa-rawa, dan lain sebagainya.

Pandemi. Pandemi adalah penyakit yang terjadi serempak dimana-mana, meliputi daerah geografis yang luas (seluruh Negara/benua). Menjadi masalah bersama bagi seluruh warga dunia. Misalnya, doeloe, Typhus, Cholera, Disentri, Influenza; kemudian HIV/AIDS; terbaru, serangan  COVID-19. Penyebaran terjadi tiba-tiba, terkadang cepat, menyebar di antara manusia, lintas komunitas.

Epidemi. Epidemi terjadi ketika suatu penyakit telah menyebar dengan cepat ke wilayah atau negara tertentu dan  memengaruhi populasi penduduk, karena terjadi banyak kematian. Misalnya, Ebola di Republik Demokratik Kongo, 2019; flu burung atau H5N1, di Indonesia pada 2012: SARS atauSevere Acute Respiratory Syndrome), 2003.

Endemik. Istilah epidemik digunakan saat ada infeksi, tetap ada selamanya dalam suatu lokasi geografis. Dalam Artian, adanya virus, bakteri yang 'abadi' pada suatu lokasi geografis; setiap saat, karena sikon tertentu, dengan mudah menyerang setiap orang.

Covid-19, dari Pandemik Menjadi Endemik

Berdasarkan hal-hal di atas, tidak menutup kemungkinan, menurut WHO, pandemi Covid-19 bisa menjadi endemik. Oleh sebab itu, masyarakat dunia dapat belajar hidup berdampingan dengan Covid-19, seperti demam berdarah, malaria, flue, dan lain-lain
Pandemi Covid-19 akan menjadi endemik, yakni karena keberadaan virus, bakteri atau patogen secara konstan. Bahkan, dari Endemik Covid-19 menjadi Hiperendemik Covid-19. Penularan tinggi, cepat, menjangkau banyak orang.

Peluang Endemik Covid-19 di Indonesia. Endemik Covid-19 dalam arti infeksi dan penularan, serta dampak-dampak ikutannya (termasuk kematian) pada suatu lokasi secara geografis atau wilayah tertentu. Ini bisa terjadi, bahkan, peluangnya sangat besar.

Kok Bisa? Bisa Saja.

Karena, di Negeri Tercinta ini, ada banyak orang dalam komunitas pada wilayah atau daerah (tertentu) yang tidak percaya adanya Covid-19 apalagi VAC. Mereka, tentu saja, seperti itu karena alasan yang kuat, terutama berbasis ajaran agama, sosial, budaya, juga akibat kurang pendidikan.

Sehingga mereka pun tak peduli dan masa bodo, terutama (iii, tak mau ikuti prokes) dan (iv, menolak VAC). Dampaknya jelas, Covid-19 menjadi 'Silent Killer' pada Komunitas tersebut. (Monggo cari sendiri, area tersebut dan temukan solusi cerdas).

Cukuplah

21 Agustus 2021

Opa Jappy | Indonesia Today

Opa Jappy, "Banyak Orang Indonesia Sakit Kritis"

 



Berdoa untuk Bangsa

Doa Hari Ini
Saya aja kita semua lihat video dan baca Artikel; kemudian Berdoa untuk Bangsa dan Kesembuhan Orang-orang yang Sakit Kritis.
Banyak Orang Indonesia Sakit Kritis oleh Opa Jappy

Beberapa hari terakhir, setelah Tali Ban berkuasa di Kabul (walau kini 6 Provinsi di Afghan telah direbut oleh pasukan rakyat dan Warlord), sejumlah orang di Negeri Tercinta, menaikan puja dan puji memuji serta memuja Taliban. Siapa mereka? Mereka adalah orang-orang yang jelang Lebaran 2021 memuja dan memuji Hamas di Gaza (walau luluh lantaki kena bom Israel), sebagai super hero.
Agaknya di Indonesia, sadar atau tidak, telah ada agen-agen Hamas, Isis, Taliban, dan sejenis dengan itu. Mereka inilah Lebah Bising di NKRI, yang selalu buat ramai di Negeri Tercinta; mereka yang meraung-raung jika ada perang di dunia lain sana; mereka pula yang berdarah dan merasa sakit jika Hamaz terluka, Muslim Uighur (khususnya yang teroris) tewas, atau pun Rohingya tercabut nyawamya. Itulah mereka, yang saya sebut sebagai Orang Indonesai Sakit Kritis dan Krisis Identitas.

Catatan Mini tentang Mencari Identitas
Setiap orang, siapa pun dia, jika semuanya normal, maka (akan) mengalami periode (atau proses, dan sering disebut rentang) pertumbuhan dan perkembangan; itu terjadi atau berlangsung dari lahir hingga, menikmati hidup dan kehidupan hingga segalanya berakhir di titik akhir yaitu kematian. Semua periode dan rentang petumbuhan dan perkembangan manusia tersebut, mempunyai karakteristiknya masing-masing; ada hubungan sebab-akibat; serta mendapat pengaruh dari sikon luar dirinya.
Pada umumnya seseorang (akan dan seharusnya) mencapai beberapa peran tertentu, misalnya memahami tugas dan peran sebagai manusia dewasa; memahami peran sosial dalam perbedaan gender; mempunyai hubungan baru dan matang dengan teman sebaya, pria maupun wanita; menerima keadaan fisik dan menggunakan tubuh secara efektif; perilaku sosial yang bertanggung jawab dan kemandirian pada hampir semua bidang hidup dan kehidupan.
Selain itu, aspek-aspek yang ada dalam rentang pertumbuhan dan perkembangan seseorang, umumnya meliputi (i) aspek fisik; berhubungan dengan anggota tubuh, bertambah besar, berat badan, pertambahan usia, menjadi kuat, dan lain-lain; adanya rasa aman karena mendapat perhatian dan perlindungan fisik, (ii) aspek psikologis; adanya perkembangan dan kedewasaan kepribadian, berpikir, serta berani mengambil keputusan dan bertanggungjawab, (iii) aspek intelektual; adanya proses belajar sehingga mengalami pertambahan pengetahuan atau bertambah pintar; wawasan yang terbuka; adanya kemampuan matematis; bahasa; dan analisa, seni, dan lain-lain, (iv) aspek sosial; mempunyai interaksi sosial dengan orang lain; pergaulan dalam dan di luar kelompok; adanya kawan dan sahabat, dan seterusnya, (v) aspek spiritual; belajar mengenal TUHAN Allah, serta tampilan hidup dan kehidupan etis yang baik, dan lain-lain
Semua aspek pertumbuhan dan perkembangan (i-v) itu, terjadi (seiring sejalan, dan tak boleh terjadi hanya sebagian) sehingga seseorang tumbuh kembang menjadi dewasa. Dan kedewasaan itu, bisa disebut, dewasa sosial, fiski, psikogi, intelektual, iman, dan lan sebagainya. Bersamaan dengan itu, seseorang pada usia biologis tertentu (yang belum tentu setara dengan usia psikologis, kemampuan intelektual, serta kebebasan interaksi sosial, dan lainnya), misalnya 5/6 - belasan tahun (tapi, kadang-kadang ada orang yang hingga usia puluhan tahun), mulai mencari jati atau indentitas diri yang berkiblat pada sesuatu yang di luar dirinya.
Katakanlah, seseorang dari 5/6/7 tahun hingga remaja akhir (atau awal masa dewasa, misalnya di usia 17-21 tahun) terpukau dengan ‘peer groupnya’ (harus menyesuaikan diri dengan standar dalam penampilan, berbicara dan berperilaku seperti yang ditetapkan oleh kelompok; karena takut akan kehilangan dukungan dari anggota-anggota kelompok, mereka berusaha menyesuaikan dengan baik bahkan kadang-kadang berlebihan) orang dewasa yang sangat berpengaruh di sekitarnya, terbiasa dengan cerita, dongeng, dan komik (heroik, super hero, sosok jagoan), hidup bersama dengan sosok-sosok yang dinilai kuat, hebat, jagoan; maka mereka (akan) menjadikan sosok-sosok itu (yang imaginer maupun nyata) sebagai idola serta kiblat (gaya, style) hidup dan kehidupan. Itu adalah masa mencari dan menyesuaikan diri sebagai ‘identitas;’ penyesuaian ini (jika tanpa pendampingann ornag dewasa), maka akan menjadi dewasa sesuai dengan sosok-sosok imaginer atau pun nyata tersebut.

Tentang Pahlawan
Pahlawan, hero, super hero, apa pun sebutannya, menunjuk pada seseorang atau orang 'yang berani melawan;' ia memimpin, memotivasi, membangkitkan semangat, bahkan memberi teladan agar orang-orang melawan sesuatu.
Sesuai pengembangan makna, pahlawan tak (lagi) berhubungan serta dihubungkan dengan hal-hal fisik, misalnya perkelahian, pertempuran, perang, dan sejenisnya. Melainkan, berhubungan juga dengan hal-hal soft, misalnya pendidikan, lingkungan, serta bidang-bidang hidup dan kehidupan lainnya.
Dengan demikian, mudah dipahami bahwa ada julukan atau pun gelar seperti Pahlawan Kemerdekaan, Pahlawan Lingkungan, Pahlawn Tanpa Tanda Jasa, Pahlawan Cinta, dan lain sebagainya. Jadi, sebetulnya, setiap orang bisa menjadi pahlawan untuk masyarakat, komunitas, orang lain, atau pun diri sendiri.
Pada konteks ini, dalam kekinian waktu, seseorang (bisa) menjadi pahlawan karena keberhasilan dan kemampuan memimpin, memotivasi, membangkitkan semangat, serta memberi teladan agar orang-orang melawan sesuatu. Misalnya memperbaiki kelakuan, disiplin, merobah keadaan, dan menata sesuatu sehingga lebih baik dari keadaan semula.
Pada konteks 'zaman now,' dikala keteladanan nyaris punah, harus membayar untuk mendapat motivasi dari para motivator, semangat kebersamaan semakin pudar, maka pahlawan dan kepahlawanan pun sulit muncul. Orang lebih suka berjuang untuk diri sendiri dan kelompoknya yang terbatas, dan merasa serta menilai diri sebagai pahlawan. Padahal, pahlawan dan kepahlawanan itu karena karyanya nyata, terlihat, dan bermanfaat untuk masyarakat atau pun orang banyak.

Selanjutnya?
Melompat ke konteks kekinian, kira-kira 10 tahun terakhir, di Negeri Tercinta, pada diri banyak Orang Indonesia, agaknya terjadi pergeseran makna (pahlawan), perubahan kiblat diri, serta mencari dan menemukan identitas (sosok yang dicontoh, diteladani, di-kiblat-kan) sesuai dengan basis ajaran agama, idiologi, serta kemampuan (dan kehebatan) perlawanan; perlawanan terhadap orang-orang yang berbeda (menurut ajaran, agama, iman dan idiologi), kemapanan, Negara, Institusi, dan lain sebagainya.
Sehingga, walaupun di Negeri Tercita ada ratusan (atau bahkan mencapai ribuan) Pahlawan Nasional (dan juga lokal) tapi karena ‘mereka semua beda’ menurut ajaran agama dan idiologi, maka sangat tak patut menjadi hero atau pun pahlawan. Tak sedikit Orang Indonesia yang ‘tidak mengakui’ jasa-jasa para Pahlawan Nasional; karena menurut mereka, tidak cukup dan pas sebagai pahlawan.
Sehingga, bagi mereka, harus mencari pahlawan, hero, sosok kiblat yang baru; dan benar-benar sesuai dengan ajaran agama serta idiologi.
Bersamaan dengan itu, di Negeri Tercinta, muncul barisan sakit hati, oposisi (dengan narasi serta orasi politik kebencian), tokoh agama, dan lain-lain menampilkan diri sebagai ‘Pahlawan Baru,’ dengan Narasi serta Orasi, ‘Aku Bisa Melawan, Aku Terbaik, Semua Salah. Kemudian, berusaha menjadi Pusat di Luar Kekuasaan; kemudian ‘bermain-main di area psikologis orang-orang sudah krisis (dan sakit kritis) identitas. Selanjutnya, orang-orang (sakit) krisis dan kritis identitas itu, menyambut orasi serta narasi para ‘Pahlawan Baru’ tersebut sebagai ‘My Hero, My Kiblat, The Great One, Sosok Super, dan lain sebagainya.’
Dan, dari sikon itulah, sosok-sosok seperti Si Kumis, Kebo, Brizieq, Jenderal Kancil, Say Linglung, Stone Gayrong, Harum Bau, Raden Amis, Hitler, Teroris, dan kawan-kawan menjadi idola, pahlawan, serta kiblat.
Tidak cukup di situ, orang-orang (sakit) krisis dan kritis identitas tersebut, juga menjadikan Osama bin Laden, Isis, Hamas, Taliban, dan lain-lain sebagai contoh terbaik sebagai ‘Orang-orang Hebat yang Mengalahkan dan Menang,’ (dan dirinya mencotoh atau menjadi seperti orang-orang yang mengalahkan dan menang tersebut); mereka tidak peduli terhadap kejahatan, kebiadaban, serta amoral yang dilakukan oleh Yang Dicontohkan tersebut.

Jangan Heran dan Bingung
So, jika sekarang ini, ada sejumlah Orang Indonesia, yang kemarin, memuji serta memuja Hamas; sekarang memuja dan memuji Taliban, maka itu sesuatu yang bukan kejutan atau hal baru.
Mereka adalah orang-orang (sakit) krisis dan kritis identitas; mereka ada di berbagai strata, sub-suku, suku, dan berbagai latar belakang lainya.
Jadi, banyak Orang Indonesia yang sakit kritis; maka hanya ada dua pilihan yaitu mengobati mereka atau jika tak mau diobati, maka suruh pindah dari NKRI.

Cukuplah
VKBA Cipanas, 22 Agustus 2021
Opa Jappy | Indonesia Hari Ini

5 Menit Relaksasi, Musik Suara Hujan

26 Februari, 2021

MIX

POLITIK

JARINGAN

BERITA 2 MENIT

LAGU ROHANI

5 MENIT KONTEMPELASI dan KOSENTRASI

MAZMUR

MIX

AMSAL

KELUARAN

KEJADIAN

PENGKHOTBAH

I KORINTUS

MATIUS

IMAMAT

Renungan 1 Januari 2021, Anda adalah Pemenang